Minggu, 26 Oktober 2014

Jurusan AKK FKM UVRI, Menuju era uji Kompetensi

Mengenal AKK FKM UVRI
(Sehat 2014)
Visi
FKM UVRI Makassar menjadi perintis pendidikan kesehatan masyarakat di kawasan indonesia timur yang berbasis pemberdayaan masyarakat pada tahun 2016.
Misi
1. Menemukan dan mengkonseptualisasi fakta-fakta lapangan sebagai strategi pemikiran pengembangan kurikulum.
2. Mengembangkan sistem dan mekanisme pelayanan cepat, transparan, dan akuntabel.
3. Memperkuat SDM dosen dan pegawai untuk pelayanan dan transformasi sains, teknologi, dan seni.
4. Menumbuhkan kepercayaan stakeholders yang mengakar.
5. Meningkatkan kemampuan eksperimentasi lapangan dan kreativitas mahasiswa.

4 Kompetensi Utama AKK
1. Memiliki kemampuan mengelola organisasi dan sistem kesehatan.
2. Memiliki kemampuan menganalisa kebijakan dibidang kesehatan dan kebijakan yang terkait.
3. Memiliki kemampuan melakukan advokasi, pemberdayaan dan dukungan sosial dibidang kesehatan masyarakat untuk meningkatkan jejaring dan aksesibilitas.
4. Memiliki kemampuan melakukan riset di bidang administrasi dan kebijakan kesehatan dengan menggunakan pendekatan yang spesifik.

GAGASAN PEMBANGUNAN YANG BERKEADILAN SOSIAL (Studi Pada Pengentasan Kemiskinan Pedesaan di Indonesia)

GAGASAN PEMBANGUNAN YANG BERKEADILAN SOSIAL
(Studi Pada Pengentasan Kemiskinan Pedesaan di Indonesia)

Fokus Kajian:
“ Bagaimana struktur dan interaksi sosial masyarakat berhubungan secara timbal balik dengan kebijakan & proses pembangunan”.

Struktur Sosial Masyarakat
Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu ketaraturan perilaku sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat (Soekanto, 1983). Sementara (Shanin, 1971) berpendapat bahwa struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Namun demikian menurut Shanin, tidak ada konsep lapisan sosial yang dapat digunakan untuk menjelaskan secara tepat kenyataan sosial kelompok petani tertentu, sehingga upaya untuk mengungkap struktur kelas masyarakat merupakan masalah yang sulit.
Kesulitan ini ditemukan oleh (Beteille, 1977: 119-125) ketika mencoba merumuskan definisi formal tentang kelas dengan cara membandingkan antara berbagai model penafsiran struktur kelas yang ada dengan kenyataan sosial yang ditemukan dalam masyarakat agraris di India. Beteille tidak menemukan satupun definisi formal tentang kelas yang sepenuhnya memuaskan dilihat dari kemampuan untuk menjelaskan gejala sosial tidak hanya secara logis dan konsisten tetapi juga sekaligus menunjukkan secara tajam arti sosiologis kategori-kategori kelas yang dihasilkan oleh definisi-definisi tersebut.
Lebih lanjut Beteille menjelaskan bahwa pembagian kelas masyarakat pada lazimnya mengikuti dua macam pendekatan formal, yakni pendekatan dikotomi dan pendekatan gradasi. Pendekatan dikotomi mengandalkan adanya hubungan ketergantungan antara dua kategori kelas dalam kaitannya dengan kepemilikan, pengendalian, dan penggunaan tanah, seperti hubungan antara pemiliki tanah dengan buruh tani. Pendekatan dikotomi memiliki keunggulan dalam hal menunjukkan arti sosiologis dari hubungan-hubungan anntara berbagai kategori kelas yang ditampilkan, namun memiliki kelemahan dalam hal menjelaskan konsistensi hubungan antara berbagai kategori tersebut. Sebagai contoh hubungan ketergantungan antara dua kategori kelas dalam kaitannya dengan pemilikan dan penggunaan tanah, seperti hubungan antara pemilik tanah dengan buruh tani. Model pembagian ini tidak mampu menjelaskan bagaimana sifat hubungan antara kategori-kategori tersebut bila dihadapkan pada gejala-gejala banyaknya pemilik tanah sempit yang relatif terbebas dari ketergantungan pada pemilik tanah luas dan tidak memperkerjakan atau mengupah buruh tani.
Berbicara mengenai struktur sosial dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran Marx dan Weber, mengenai dimensi-dimensi stratifikasi sosial. Tesis klasik Marx mengenai sistem stratifikasi sosial sangat berkaitan erat dengan adanya ketidaksamaan kelas yang disebabkan oleh perbedaan dalam kehidupan perekonomian, utamanya yang menyangkut mode produksi. Oleh karena itu pandangan Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi yang menentukan kedudukan kelas (Charon, 1980: 109-114).
Uraian di atas mengandaikan setiap masyarakat memiliki posisi-posisi dalam struktur sosialnya, posisi setiap orang dalam struktur social mengikuti pendapat Marx akan ditentukan oleh aksebilitas pada faktor-faktor ekonomi. Selanjutnya dalam konteks sosiologi disebut stratifikasi social. Pertanyaan mendasarnya dalam pembahasan penanganan kemiskinan, adalah apakah kemiskinan memang ada dan harus ada dalam masyarakat? Seandainya memang kemiskinan harus terjadi oleh sebab posisi dalam struktur maka bagaimana peran mereka dalam membentuk struktur tersebut? Artinya meskipun terdapat sekelompok masyarakat miskin dalam sebuah struktur, tetap akan peran dalam redistribusi sumber-sumber ekonomi.

Perspektif Kemiskinan di Indonesia
Kedudukan manusia dalam proses pembangunan terutama pembangunan di pedesaan adalah sumberdaya yang diunggulkan, mengingat jumlah penduduk desa yang potensial. Wilayah pedesaan umumnya ditandai oleh karakteristik penduduk yang berpendapatan rendah, produktivitas rendah, tingkat pendidikan rendah, kesehatan dan gisi relative kurang ditunjang oleh tingkat kesejahteraan yang rendah pula. Keadaan inilah yang menjadi sasaran pembangunan. Karena kehidupan mereka perlu ditngkatkan, utamanya untuk mengatasi kemiskinan masyarakat desa tertinggal. Pengentasan kemiskinan merupakan kegiatan multidimensional. Tidak hanya terkait dengan sasaran bidang pendidikan, tetapi juga sasaran pemenuhan kebutuhan dasar manusia (human basic need) yang harus ditangani secara terpadu. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia tidak lain adalah kesempatan memperoleh kesehatan, gizi, penghasilan yang cukup, kesempatan memperoleh pendidikan, dan kehidupan keluarga sejahtera.
Kemiskinan biasanya diartikan sebagai situasi yang tidak memungkinkan terpenuhinya kebutuhan pokok dengan layak. Sifat-sifat khusus bangsa, masyarakat dan bahkan etnis diperhitungkan dalam mendefinikan sifat dasar, komposisi dan jumlah kebutuhan pokok yang bersangkutan. Tetapi dalam rangka memanfaatkan konsep tersebut dalam menentukan garis kemiskinan, para ilmuwan telah mempergunakan norma-norma biologi yang biasanya diungkapkan dalam jumlah makanan yang dikonsumsi. Kendati adanya keberatan utama terhadap metodologinya (variasi perorangan akan kebutuhan bahan makanan; penilaian untuk masukan, tapi tidak untuk keluaran; pengumpulan masalah, dan lain-lain), tetapi definisi garis kemiskinan yang didasarkan pada pendapatan yang diperlukan untuk membeli sejumlah kebutuhan pokok minimum, merupakan prosedur yang sudah teruji dengan landasan cukup pragmatis sehingga dapat diselaraskan dengan data yang dikumpulkan pada tingkat makroekonomi (Gsänger, 1988).
Lebih lanjut Gsänger menyampaikan bahwa; penilaian dimensi garis kemiskinan di kawasan, yaitu perhitungan kualitatif taraf dan sifat kemiskinan, dilaksanakan berdasarkan data yang dikumpulkan dari hasil penelitian rumah tangga nasional. Definisi norma-norma gizi dilakukan berdasarkan rekomendasi Departemen Kesehatan dan FAO. Jumlah yang dianjurkan dipertimbangkan berdasarkan harga rata-rata yang sedang berlaku dipedesaan Jawa.
Emil Salim (1976) dalam Supriyatna (1997) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakteristik penduduk miskin tersebut adalah:
1.  Tidak memiliki factor produksi sendiri
2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri
3.  Tingkat pendidikan pada umumnya rendah
4.  Banyak di antara mereka yang tidak mempunyai fasilitas
5.  Di antara mereka berusia relative muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.
Kelompok penduduk miskin yang berada di masyarakat pedesaan dan perkotaan, umumnya berprofesi sebagai buruh tani, petani gurem, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis (gepeng), dan pengangguran (Supriyatna, 1997). Kelompok ini akan menimbulkan problema yang terus berlanjut bagi kemiskinan cultural dan structural, bila tidak ditangani secara serisus, terutama untuk generasi berikutnya.
Pada umumnya, penduduk yang tergolong miskin adalah golongan residual yakni kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh berbagai kebijakan Pemerintah yang terkonsentrasikan secara khusus, seperti melalui IDT. Namun secara umum sudah melalui PKT, program BIMAS, Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan, NKKBS, KUD, PKK, PNPM di desa dsb. Golongan ini sulit disentuh, karena kualitas sumberdaya yang rendah sehingga kurang memanfaatkan fasilitas, termasuk faktor-faktor produksi. Mereka juga kurang memiliki kemampuan, tingkat pendidikan yang rendah, pelatihan yang sangat minimal, termasuk memanfaatkan pemberian bantuan bagi kebutuhan dasar manusia, dan perlindungan hukum atau perundang-undangan yang kurang memihak mereka.

Kemiskinan Sebuah Realitas Sosial ?
Kemiskinan menjadi sebuah kenisyaan dalam sebuah realitas sosial. Masyarakat secara umum mengambil sikap semacam itu, atau kemiskinan memang suatu “kewajaran’ yang sudah pasti tentu ada. Pemaknaan semacam ini akan membatasi wawasan pemikiran kita pada suatu keadaan yang pasti dan sudah barang tentu terjadi dalam kondisi kehidupan. Kemiskinan bukan suatu problema yang harus dipikirkan dan diselesaikan karena hal itu dalam batas kewajaran.
Namun suatu saat orang miskin yang kita lihat merayakan pesta perkawinan anaknya, mengundang tetangga dan teman-temannya. Akan tetapi suatu hari kita akan melihat rumah orang miskin tadi digedor-gedor orang yang menagih hutang. Dua “realitas” yang tadi kita lihat, mulai menyangsikan sebuah kata “kewajaran”. Kita akan berfikir; mencari sebab musababnya atau mungkin kaitan-kaitannya dengan hal-hal lain.
Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sederhana, tidak seperti bertanya pada orang di jalan atau dari data. Kita harus menemukenali pribadi si miskin, bertanya dan mendapat jawaban bukan hanya itu apabila kita ingin sungguh mau memahami (verstehen) realitas yang disebut dengan kata kemiskinan itu, kita tidak hanya sekedar meneropong dari luar, meskipun pada tahap tertentu kita harus meneropong dari luar untuk mengetahui sesuatu. Misalnya ikut dalam berbagai harapan, perasaan, dan perjuangan yang dilakukan si miskin. Ringkasnya, memahami kemiskinan melalui proses karena kemiskinan bukan tampak sebagai barang yang berdiri di luar kita, melainkan melekat pada diri manusia (Hardiman, 2002).
            Hasil peneropongan kita dari luar tentu sangat bergunan, melalui itu kita akan menbandingkan, mencari kaitan, mencari sebab, menelusuri sejarah, dan seterusnya. Misalnya kita akan menemukan struktur-struktur yang menyebabkan mengapa orang tersebut miskin, mengkin struktur social, politis, ataupun budaya, sehingga mendapatkan sebuah analisis empiris tentang realitas tersebut.
Pemahaman kita dari dalam mengungkap lebih banyak lagi, misalnya kita akan menemukan kompleks perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, atau pikiran-pikran yang berkaitan dengan kemiskinan tersebut. Singkatnya, kemiskinan bukan hanya soal material yang obyektif, melainkan menembus penghayatan batin dan kesadaran si miskin. Kita akan menemukan struktur-struktur dalam dari kemiskinan tersebut.
Peran Sosiologi dalam Penanganan Kemiskinan di Indonesia
Pada dasarnya etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran obyektif atau mencari realisme, yaitu suatu istilah yang salah satu artinya menunjuk pada suatu pandangan obyektif tentang realitas (Gunnar Myrdal, 1981 dalam Santoso dan Santoso, 2003). Taraf obyektivitas ilmu-ilmu social dalam hal ini adalah memandang kenyataan sebagaimana adanya (das sein) dengan menggunakan metodologi serta teori social berdasar realitas obyektif yang dijadikan lapangan penyelidikan. Lebih khusus lagi adalah bagagimana ilmu social dapat membebaskan diri dari: pertama: warisan peninggalan yang kuat dari penulis-penulis sebelumnya dalam bidang ilmiah yang digarap yang kadang kala mengandung orientasi normative dan teologis serta berlandaskan filasafat moral metafisika tentang hukum alam serta utilarianisme yang menjadi sumber terbentuknya teori social.
Melalui upaya pembebasan diri dari segala pretense atau kepentingan sosial untuk menghasilkan pengetahun yang obyektif secara apa adanya, sehingga konsekuensi ilmu-ilmu social sebagai ilmu yang mempelajari manusia dengan segala gejala sosialnya yang selalu berubah-ubah dapat diterima sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu alam
Kedua; pengaruh-pengaruh seluruh lingkungan kebudayaan, social, ekonomi dan politik dari masyarakat tempat ilmu social itu ditumbuhkan (Gunnar Myrdal, 1981 dalam Santoso dan Santoso, 2003). Pembebasan ilmu-ilmu social dari pengaruh kehidupan social yang melingkupinya bukan dalam artian bahwa ilmu social bebas nilai dan kepentingan. Hal ini dikarenakan, menurut Soedjatmoko (1993) banyak ilmuwan social dalam menghadapi persoalan social masih terbatas lingkup berlakunya karena terikat pada kebudayaan tertentu, tetapi bagaimana ilmu-ilmu social membawa seperangkat kepentingan praktis ke dalam pemahaman persoalan social secara lebih obyektif.
Persoalan kemiskinan, dilihat dari perspektif ilmu sosial sangatlah kompleks, melibatkan beragam struktur-struktur yang saling berkaitan dan membentuk sebuah realitas yang disebut kemiskinan. Ilmu sosial sebagai ilmu histories-hermeneutis menyoroti bidang-bidang intersubyektif yang selalu berubah-ubah, karena terjadi dalam gejala sosial bukanlah fakta mati melainkan pendapat manusia atas gejala tersebut. Sehingga obyek dalam gejala sosial itupun butuh penelaahan disesuaiakan dengan konteks interaksi yang dinamis. Dalam penelaahan konteks kemiskinan, ilmu sosial tidak hanya menjelaskan fakta kemiskinan masyarakat akan tetapi penjelasan penyebab dalam proses yang menyebabkan kemiskinan suatu masyarakat dalam hal; bagaimana struktur yang terbentuk, unsur-unsur struktur yang terlibat, disposisi-disposisi struktural dan kultural, dan persepsi-persepsi dalam suatu konteks yang dinamis serta obyektif.
Sesungguhnya telah banyak kalangan sosiolog maupun antropolog yang telah melakukan kajian-kajian sosiologis tentang kemiskinan di Indonesia. Sebut saja antropolog Koentjaraningrat. Dalam kepentingan pemerintahan atau kepentingan pembangunan pemilihan teori sosial yang berkenaan dengan kepentingan ideologis di Indonesia pada awalnya terdapat teori mentalitas di Jawa yang diperkenalkan oleh Koentjaraningrat. Teori mentalitas ini antara lain mengasumsikan bahwa kemiskinan atau hambatan yang terjadi dalam proses pembangunan nasional disebabkan oleh mental manusianya. Lingkungan sosial yang miskin dan tertindas dicari factor penyebabnya pada mentalitas kerja, sehingga masyarakat perlu diinjeksi prasyarat-prasyarat mental yang lebih mendorong supaya pembangunan lebih berhasil (Koentjaraningrat, 1974). Teori yang sampai saat ini berpengaruh dalam dinamika perkembangan ilmu-ilmu sosial ini kemdian dipertentangkan dengan teori strukturalisme yang membahas masyarakat dari struktural masyarakatnya bukan mentalitasnya (Santoso dan Santoso, 2003).

Keberadaan Undang-Undang (UU) tentang Desa dan Pengentasan Kemiskinan
Keberadaan undang-undang tentang Desa memberi harapan baru bagi warga yang tinggal di wilayah perdesaan. Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7).
Tak sekadar pengakuan dan penghargaan atas keberadaan desa, UU ini memberikan hak perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan. Tak berlebihan bila tujuan pengesahan UU Desa tidak sekadar untuk pengentasan warga dari kemiskinan, lebih dari itu UU Desa memberikan harapan akan munculnya kelas menengah baru di kawasan perdesaan.
Kemunculan kelas menengah baru di dunia perdesaan muncul akibat kucuran dana pembangunan yang cukup besar untuk desa. Bila dirata-rata, ada kucuran 1,4 Milyar untuk desa dari Pemerintah Daerah (APBD) dan Pemerintah Pusat (APBN). Warga desa bisa merencanakan pembangunan di wilayahnya tanpa harus risau alokasi pembiayaannya.
Adanya aliran dana ke desa akan menumbuhkan usaha-usaha produktif di wilayah desa. Di desa akan muncul sentra-sentra pertumbuhan ekonomi yang kuat. Angka urbanisasi akan menurun sehingga persoalan di kota juga berkurang. Lahirnya apa yang disebut dengan desa nol kemiskinan.











Pemodelan Sosial : Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Kemiskinan Perkotaan di Kota Makassar

Fenomena Sosial
Kemiskinan perkotaan kini menjadi isu yang kian relevan dan mendesak untuk ditangani terkait dengan tren dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia. Sebagai ilustrasi, sepanjang 1980 hingga 2010, pertumbuhan populasi perkotaan di Indonesia mencapai 3,85% dan ini membuat proporsi penduduk perkotaan meningkat dari 22,10% pada tahun 1980 menjadi 44,28% pada 2010.
Data juga menunjukkan bahwa proporsi penduduk miskin yang tinggal di perkotaan meningkat pesat dari 18,45% pada 1976 menjadi 36,61% pada 2009. Dari data tersebut terlihat bahwa kecenderungan urbanisasi kependudukan di Indonesia juga diikuti dengan urbanisasi kemiskinan yang lebih lanjut berdampak pada timbulnya berbagai aspek persoalan kemiskinan perkotaan seperti aspek fisik (berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi) dan aspek nonfisik seperti kondisi sosial-ekonomi (keterbatasan lapangan pekerjaan, kesenjangan, ketidakadilan), ataupun aspek ekologis (banjir dan pencemaran lingkungan).
Berdasarkan sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, penduduk miskin sebanyak 32,02 juta jiwa atau 13,33% dari total jumlah penduduk. Dari jumlah penduduk miskin tersebut sebanyak 11,05 juta jiwa berada di perkotaan dan 18,97 juta jiwa di perdesaan.
Di antara kota-kota di Indonesia, Kota Makassar merupakan salah satu kota yang menghadapi masalah kemiskinan perkotaan. Di tengah upaya untuk mewujudkan visinya sebagai ”Kota Dunia” dan ”Pintu Gerbang Indonesia Timur”, Kota Makassar juga menghadapi tantangan terkait dengan jumlah penduduknya yang cukup besar, yaitu 1.339.374 jiwa pada 2010 (BPS Kota Makassar, 2011), dengan proporsi penduduk yang miskin yaitu 5,6% pada 2009 (BPS Kota Makassar, 2010).
Di sisi lain, kota Makassar terkenal dengan terobosan dan inisiatif pemerintahnya dalam penanggulangan kemiskinan. Selain tersedianya program perlindungan sosial oleh Pemerintah Pusat, terdapat pula Program Makassar Bebas yang meliputi pelayanan dasar di bidang kesehatan, pembuatan Kartu Keluarga dan akta, angkutan anak sekolah, dan lain-lain.
Namun demikian, upaya upaya tersebut belum sepenuhnya sensitif terhadap kebutuhan masyarakat miskin dan belum berintegrasi dengan aspek spasial kemiskinan perkotaan. Begitu pula dengan proses perencanaan perkotaan. Hal ini patut disayangkan mengingat pemahaman tentang aspek spasial dan pengintegrasian aspek tersebut sangat penting dan strategis dalam upaya perumusan strategi pembangunan yang secara khusus dapat mengurangi kemiskinan spasial perkotaan.
Spatial planning (penataan ruang) bukan semata-mata mengatur ruang hanya secara fisik, namun mengandung dimensi aspek-aspek ekonomi, sosial, politik, lingkungan, psikologi baik individual maupun massa. Berbagai kepentingan para pihak yang pada ujungnya memerlukan "wadah" atau "ruang"/"space" untuk aktivitasnya akan mewarnai penataan ruang suatu daerah. Sistem perencanaan spasial yang terkait dengan pembangunan bukan fenomena yang berdiri sendiri (independen) tetapi merupakan hasil dari berbagai pengaruh budaya, dimana pembangunan tidak dapat dimengerti tanpa refleksi konteks pembangunan sosial. Selain itu disadari juga bahwa tekanan-tekanan eksternal dalam kaitannya dengan kerangka globalisasi neo-liberal sangat mempengaruhi sistem perencanaan spasial terutama di tingkat lokal.
Menurut Delik Hudalah (dalam Johan Woltjer, 2007 "spatial planning" di Indonesia sangat diwarnai oleh dominasi neoliberal, dimana tekanan pasar "market driven" sangat kuat dan aspek kelembagaan dan sosial-budaya kurang diperhatikan. Akibatnya dapat dirasakan terutama di masa 5-10 tahun terakhir ini dimana banyak terjadi alih fungsi lahan, misalnya sawah dan situ diurug dan menjadi industri, mall, real estate, kawasan hutan lindung diubah menjadi hutan produksi, dan masih banyak lagi. Sehingga terjadi bencana banjir, tanah longsor, lahan kritis yang mendatangkan kerugian serta korban jiwa cukup besar.
Sebagai contoh, rencana pembangunan kawasan pelabuhan dan pergudangan di pesisir Kota Makassar belum mempertimbangkan kondisi penghidupan masyarakat miskin di wilayah tersebut yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh nelayan. Dengan pembangunan kawasan tersebut di masa mendatang, kelompok ini akan menghadapi kerentanan baru terkait dengan perubahan kondisi spasial. Akibatnya, mereka bisa bertambah miskin karena kehilangan sumber mata pencaharian, sementara transisi ke kegiatan perekonomian perkotaan lainnya belum terjadi dengan sepenuhnya.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian fenomena sosial diatas maka identifikasi masalah sebagai berikut:
1.      Pembangunan perkotaan belum sensitive terhadap kebutuhan masyarakat miskin di Kota Makassar
2.      Pembangunan perkotaan belum berintegrasi dengan aspek spasial kemiskinan perkotaan yang meliputi :
a.       Kondisi permukiman yang kurang layak.
b.      Kurangnya sarana sanitasi dan air bersih di pemukiman kumuh.
c.       Ketiadaan status kepemilikan lahan.
d.      Minimnya aset fisik dan infrastruktur pada kelompok miskin.
e.       Kondisi aset ekonomi dan keuangan masyarakat miskin masih  terbatas.
Diagnosis Masalah
a.       Pembangunan Kota Makassar belum menyertakan aspek sosial sebagai kebutuhan masyarakat terutama terbatasnya asset ekonomi keuangan masyarakat miskin.
b.      Pembangunan Kota Makassar belum berintegrasi dengan aspek spasial kemiskinan perkotaan terutama minimnya aset fisik dan infrastruktur pada kelompok miskin
Pemodelan sosial
Berdasarkan diagnosis masalah diatas maka pemodelan sosial yang akan dilakukan yaitu perencanaan spasial kemiskinan perkotaan meliputi :
1.      Integrasi pembangunan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat miskin perkotaan terutama peningkatan asset ekonomi keuangan.
2.      Integrasi pembangunan dengan peningkatan aset fisik dan infrastruktur pada kelompok miskin.

Kondisi Sosial yang diharapkan
Dengan pemodelan sosial yang dilakukan maka diharapkan kondisi sosial pada kemiskinan perkotaan di Kota Makassar semakin berkurang oleh karena:
1.      Tumbuhnya asset ekonomi keuangan masyarakat oleh karena adanya perencanaan pembangunan yang berbasisi pada kebutuhan masyarakat seperti : semakin meningkatkanya akses masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan, melaksanakan usaha-usaha ekonomi yang berbasis masyarakat.

2.      Tumbuhnya asset fisik dan infrastruktur yang berpihak pada kelompok miskin yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi sebagai subjek bukan hanya objek pembangunan. 

Armopa : SEBUAH DESA PERAMU SAGU DI PANTAI UTARA IRIAN JAYA (SOSIOLOGI KOMUNITAS KHUSUS)

Pendahuluan
Distrik Pantai Utara Irian Jaya merupakan daerah yang terpotong-potong oleh sungai-sungai dan aliran-aliran kecil yang tak terbilang banyaknya. Sungai-sungai itu bersumber dari bukit-bukit yang mulai muncul 20 sampai 30 kilometer ke pedalaman, sedangkan sungai-sungai yang agak besar seperti sungai Tor, Biri, Wiruwai, Toarim dll bersumber di pegunungan Gautier, Pegunungan Foya, Pegunungan Karamor dan pegunungan Bonggo yang terdapat kira-kira 40 hingga 60 kilometer ke pedalaman.
Ciri terpenting dari daerah Pantai Utara adalah curah hujan yang besar yaitu antara 2000-3000 mm selama kurang lebih 130 hari setiap tahun. Terutama di daerah sekitar Desa Trawasi, Armopa dan Tromta yaitu tempat tinggal orang Bgu, hujan yang sungguh lebat bersifat merata sepanjang tahun. Dari bulan November hingga April daerah pantai utara sangat dipengaruhi angin baratyang dengan pesat bergerak kea rah timur seraya mendorong air laut dan kemudian menghempaskannya dengan dahsyat di pantai sehingga pendaratan dengan perahu pada saat-saat itu praktis tidak mungkin. Antara bulan Mei hingga September angin membalik menjadi angin timur  dan lautan teduh pun menjadi teduh tenang.

Sistem Kekerabatan
Dalam suatu rumah tangga biasanya selain keluarga batih dihuni juga oleh beberapa kerabat lain seperti misalnya ibu dan ayah yang sudah tua, menantu serta juga cucu-cucu bahkan juga saudara wanita suami beserta suaminya. Mereka mengenal sistem fam didalam kehidupan mereka, fam dari keluarga batih akan tercatat dibuku registrasi gereja dan kemudian gereja akan memberikan mereka sebuah nama baptis di depan nama fam yang berasal dari garis keturunan ayah.
Istilah fam sebenarnya bukanlah budaya asli masyarakat Armopa, istilah fam diperkenalkan oleh pembawa agama Kristen. Dulu sebelum masyarakat Bgu pindah kedaerah pesisir mereka mengenal istilah auwet (juga berdasarkan garis keturunan ayah) akibat dari pembayaran mas kawin dari pihak laki-laki kepada wanita, orang Bgu pada zaman dahulu memiliki adat menetap virilokal, jadi sang istri dan anak-anak mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk menemui kerabat mereka karena masing-masing auwet sangat jarang berhubungan dan mereka juga terpisah satu sama lain. Kondisi seperti ini menciptakan adat yang benar-benar patrilinial. Sistem fam berbeda dari sistem Auwet karena fam tidak begitu mengikat didalam adat dan agama (dikendalikan oleh gereja) fam juga tidak secara aktif dalam melakukan kegiatan adat, jadi fungsi fam tidak sekompleks auwet fam tidak lebih dari sekumpulan orang-orang yang meiliki registrasi yang sama.
Tetapi setelah dipaksapindah oleh pemerintah kolonial kedaerah pesisir terjadi perubahan besar didalam kekerabatan mereka. Prinsip pratrilinela mulai kabur, seseorang mengambil hasil kebun dari tempat dimana dulu ayahnya berkebun tapi ia juga bisa memetik hasil perkebunan dimana keluarga dari ibunya dulu berkebun.
Dengan berpidahnya masyarakat Bgu kedaerah kering (pesisir) maka lenyaplah sistem auwet yang mereka kenal selama ini. Sistem ini membuat sedemikian rupa sistem kekerabatan patrilinial bertahan mada masyarakat, yaitu pola menetap pasangan baru yang tinggal dirumah kerabat suami (virilokal) dan kondisi tempat tinggal yang berjauhan membuat sang istri tidak bisa berhubungan dengan kerabatnya.
Sistem kekerabatan membuat kepemilikan tanah menjadi tidak terlalu mengikat pada masyarakat Bgu, seseorang bisa mengambil sagu dari tempat dimana ayahnya dulu mengambil sagu tapi ia juga dapat mengabil sagu dimana keluarga ibunya mengambil sagu. selain itu pengaruh lainnya adalah ketidak pastian kepemilikan tanah yang digunakan untuk tempat mengambil sagu dan berkebun (walaupun berkebun tidak begitu populer bagi masyarakat Bgu)
MATA PANCAHARIAN
Memukul Sagu
Memukul sagu adalah mata pencaharian yang terpenting oleh masyarakat Bgu. Hutan sagu yang sekarang letaknya kira-kira sekitar 3-5 kilometer jauhnya dari desa, terbagi kedalam wilayah-wilayah dengan batas-batas yang tidak tegas yang menjadi kelompok kekerabatan tertentu.
Dua orang pria dalam waktu kira-kira empat hari dapat memukul datu pohon besar, dengan rata-rata bekerja selama delapan jam sehari atau keseluruhannya dalam waktu 32 jam. Satu pohon seperti itu dapat menghasilkan 150-300 kilogram sagu basah. Batang yang sudah terbuka harus cepat-cepat diambil dan dikerjakan sebab yang terbuka seperti itu akan dimakan oleh babi hutan. Sagu biasanya dimasak sebagai bubur, roti bakar, yang dimakan dengan lauk seperti daging, ikan, kerang, atau sayuran
Menangkap Ikan
Pekerjaan mencari ikan merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh pria maupun wanita terutama di daerah pantai utara mencari ikan menjadi mata pencaharian utama selain mencari sagu. Mereka mencai ikan, kerang, udang, kepiting, atau hewan air lainnya. Mencari ikan biasanya diakukan oleh paling banyak 2 keluarga batih dengan 3-4 wanita dan anak-anak.
Berburu
Berburu khususnya dilakukan oleh pria, dan binatang yang diburu biasanya adalah babi, soa-soa, kangguru, tikus, kadal, ataupun burung. Metode yang digunakan dalam berburu babi adalah babi digiring oleh anjing-anjing kesuatu tempat dan kemudian baru di tembak dengan anak panah seringkali perburuan dilakukan pada malam hari dan hanya menggunakan lampu senter.
Berkebun
Hanya sedikit masyarakat yang mengenal mata pencarian berkebun, jelas sekali tampak kalau berkebun hanyalah mata pencarian tambahan oleh penduduk. Didesa-desa yang letaknya jauh ke darat memang peerkebunan lebih intensif dilakukan. Tapi sebagian besar orang Bgu tidak memperdulikan berkebun, tapi ada beberapa orang yang berkebun tidak secara teratur, kebun mereka tidak bersih dan kadang-kadang ditumbuhi oleh alang-alang karena tidak diolah dengan serius.
Kebun biasanya dibuka dengan membersihkan belukar kemudian menebang pohon besar. Seseprang biasanya yang mengambil inisiatif itu bekerja dengan anak laki-lakinya atau dengan sauda laki-laki atau ipar menurut sistem tolong menolong atau serse.
Berdagang
Komoditi asal desa ini yang masih dijual adalah sagu bakar (kaus) dan buah pinang (bnim). Kaus merupakan bungkusan-bungkusan roti sagu yang tebalnya kira-kira 5 sentimeter, dan berbentuk bundar dengan diameter 50 sentimeter. Seseorang dapat memikul roti semacam itu sebanyak 20 buah dan beratnya lebih kurang seberat 20 kilogram dan dibawa ke desa tetangga yang jaraknya 25 kilometer. Disana kaus dibeli oleh tengkulak-tengkulak cina yang memiliki perahu bermotor dan selanjutnya diangkut ke Jayapura.
 Pakaian, Peralatan, Rumah dan Pola Perkampungan
Pakaian asli orang Bgu sekarang sudah hamper hilang. Pakaian mereka sehari-hari sekarang serupa dengan apa yang dipakai orang Indonesia walaupun mereka memakainya seminim mungkin. Hanya pada hari minggu saja mereka berpakaian lengkap dengan gaya pakaian pengaruh orang Maluku yaitu sarung dan kebaya putih panjang bagi para wanita celana, kemeja dan sepatu bagi kaum pria untuk pergi ke gereja.
Peralatan rumah tangga (wadah, tempat-tempat untuk menyimpan, alat-alat dapur dsb) serta perkakas rumah tangga orang Bgu hamper seluruhnya juga merupakan barang import yang dapat dibeli dalam took-toko di Kota. Alat yang sangat menarik adalah suatu wadah tembikar yang dipakai untuk membakar sagu kaus yang berupa belahan dari suatu pot besar yang diletakkan terbujur diatas api. Cara memakainya ialah dengan mengalasinya dengan daun pisang dimana kemudian diletakkan tepung sagu yang kemudian ditutup dengan pisang. Diatasnya ditaruh batu-batu yang sudah dibakar hingga berwarna putih.
Rumah di desa-desa daerah pantai utara (dalam bahasa Bgu: nuan)adalah bangunan panggung berbentuk persegi panjang yang tinggi lantainya 4,5 meter dengan ukuran kira-kira 4x5x3, yang terdiri dari satu ruangan atau lebih. Cukup banyak rumah hanya terdiri atas satu ruangan saja dimana penghuninya tinggal bersama.
Suatu desa di daerah Pantai Utara terdiri dari beberapa deret rumah yang terletak di kedua sisi jalan. Bangunan-bangunan pusat dari desa adalah gereja, sekolah desa dan rumah pos yaitu rumah yang dipakai bermalam patrol polisi dan pegawai pemerintahan yang sedang turned an orang-orang dari desa lain yang sedang dalam perjalanan dapat juga menggunakannya.

Penutup
Kelemahan-kelemahan sosial yang terdapat di desa Armopa sebagai berikut: jumlah penduduk yang kecil, adanya pola aktivitas mata pencaharian yang tidak tetap dan teratur, adat mas kawin yang tinggi, adanya system kehidupan social yang tidak mengenal banyak aktivitas bersama dan system tolong menolong secara luas dan adanya organisasi social yang tidak mengenal system kerja bakti yang bersifat spontan.
Kekuatan system social terdapat pada kedudukan yang kuat dari keluarga inti (pola sua-mofin) dan sifatnya bebas dari ikatan-ikatan kepada kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih besar. Untuk perkembangan ekonomi, sifat kebebasan bergerak keluarga inti merupakan potensi social yang baik.









Tambahan:
Teori yang digunakan :
1.    Pola interaksi social, Desa Armopa sebagai sebuah masyarakat pedesaan yang oleh Ferdinand Tonnies disebut sebagai masyarakat gemeinschaft (paguyuban) dan paguyubanlanh yang menyenebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat ini tenang, harmonis, rukun dan damai (adem ayem).

2.    Sistem Sosial, Menurut Bouman, desa adalah salah satu bentuk dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Di desa, terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, taat pada tradisi dan kaidah-kaidah sebagai system social.

Fenomenologi, Makalah Mata Kuliah Filsafat Ilmu Sosial

Fenomenologi
 Makalah Mata Kuliah Filsafat Ilmu Sosial
Latar Belakang
            Pada dasarnya landasan teoritis dari penelitian kualitatif bertumpu secara mendasar pada fenomenologi. Peneliti yang baik menyadari dasar orientasi teoritisnya dan memanfaatkannya dalam pengumpulan dan analisis data. Teori membantu menghubungkannya dengan data, menunjang pendekatan kualitatif namun yang menjadi landasan pokoknya adalah fenomenologi.
            Metode ini sangat penting di dalam filsafat, dan juga di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi tidak hanya berhenti menjadi metode, tetapi juga mulai menjadi ontologi. Muridnya yang bernama Heideggerlah yang nantinya akan melanjutkan proyek itu.
            Cita-cita Husserl adalah membuat fenomenologi menjadi bagian dari ilmu, yakni ilmu tentang kesadaran (science of consciousness). Akan tetapi pendekatan fenomenologi berusaha dengan keras membedakan diri dari epistemologi tradisional, psikologi, dan bahkan dari filsafat itu sendiri. Namun sampai sekarang definisi jelas dan tepat dari fenomenologi belum juga dapat dirumuskan dan dimengerti, bahkan oleh orang yang mengklaim menggunakannya.

Pembahasan
Konsep Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Husserl meyakini bahwa titik awal dari pengetahuan adalah “pengalaman seseorang akan suatu fenomena (gejala)”. Jika seseorang secara sadar diminta untuk memokuskan perhatiannya pada suatu hal atau objek kemudian diminta mengemukakan sensasi, persepsi, dan gagasannya terhadap hal atau objek tersebut, maka akan diperoleh deskripsi tentang hal tersebut (Salam, 2013)
Fenomenologi diartikan sebagai: 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal: 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. (Moleong, 2012)
Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subjektif yang ditemui. Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian terdisplin tentang kesadaran dari perspektif seseorang (Moleong, 2012)

Fenomenologi sebagai Metode dan Filsafat
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni dan sebagai filsafat,  fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Fenomenologi memiliki riwayat yang cukup panjang dalam penelitian social termasuk psikologi, sosiologi dan pekerjaan social. Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada focus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Dalam hal ini, para Fenomenologis ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain.
Sebagai bidang filsafat modern, Fenomenologi menyelidiki pengalaman kesadaran yang berkaitan dengan pertanyaan seperti: bagaimana pembagian antara subjek (ego) dengan objek (dunia) muncul dan bagaimana sesuatu hal di dunia ini diklasifikasikannya.
Sejak para peneliti sejarah lebih banyak mendalami kesadarab manusia para pelaku sejarah, beberapa ahli sejarah kemudian berbalik arah ke metode Fenomenologis yang ternyata banyak membantu mereka.
Para Fenomenologis berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu hal lainnya daripada dirinya sendiri. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak ada control diri terhadap kesadaran terstruktur. Husserl menyatakan bahwa filosofinya merupakan strategi untuk mengamankan kesadaran dan dunia kebermaknaan serta nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan sehari-hari dari teori teori-teori relavitasme yang ada dalam bentuk ilmi pengatahuan alam mekanistik (Moleong, 2012)

Ciri Pokok Fenomenologi
Beberapa ciri pokok fenomenologi yaitu (Moleong, 2012) :
1.    Fenomenologis cenderung mempertentangkannya dengan naturalism yaitu yang disebut objektivisme dan positivisme yang telah berkembang sejak zaman Renaisans dalam ilmu pengetahuan modern dan teknologi.
2.    Secara pasti, Fenomenologis cenderung memastikan kognisi yang mengacu pada apa yang dinamakan oleh Husserl, Evidenz yang yang dalam hal ini merupakan kesadaran tentang sesuatu benda itu sendiri secara jelas dan berbeda dengan yang lainnya dan mencakupi untuk sesuatu dari segi itu.
3.    Fenomenologis cenderung percaya bahwa bukan hanya sesuatu benda yang ada dalam dunia alam dan budaya.



Epoche dalam Fenomenologi
Husserl menekankan satu hal penting yaitu penundaan keputusan (epoche). Epoche atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

Kritik kepada Fenomologi
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

Kesimpulan
1.      Fenomenologi hendak menganalisis dunia kehidupan manusia sebagaimana secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Secara subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Secara obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan secara intersubyektitas adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan. Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi.


2.      Fenomenologi membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran bisa ditemukan.

Adat dalam Politik di Indonesia Penyunting: Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga


TUGAS SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA
DOSEN : PROF. A. IMA KESUMA, M.PD





ADAM BADWI
13A06004




 











PROGRAM STUDI S3 SOSIOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2013



Adat dalam Politik di Indonesia
Penyunting: Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga

Memudarnya kekuasaan negara yang sentralistik pasca Orde Baru memberikan peluang bagi masyarakat untuk mencari orde-orde lain yang bisa memberikan keadilan, ketertiban dan kedamaian bagi kehidupan mereka. Adat menjadi salah satu tempat berpulang masyarakat untuk mengorganisir dirinya atas dasar klaim-klaim tradisi masa lalu. Kembali kepada tradisi yang disebut juga tradisionalisme kemudian menjadi pengganti dari sentralisme yang gagal memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat.
Di tengah semakin menguatnya tradisionalisme dalam wujud gerakan indigenous peoples di dunia yang sejalan dengan menguatnya gerakan masyarakat adat di Indonesia, buku ini lahir untuk mempertanyakan sejumlah hal-hal mendasar dari kebangkitannya itu.
Sesuai dengan judul aslinya dalam bahasa Inggris “The revival of tradition in Indonesian politics: the deployment of adat from colonialism to indigenism” buku itu memang melakukan suatu pembentangan (deployment) fenomena adat kontemporer dengan menarik akarnya sampai pada era kolonialisme.
Setidaknya ada dua benang merah yang merangkai semua tulisan yang dibentangkan di dalam buku tersebut. Pertama, adalah penyelidikannya tentang faktor-faktor yang memungkinkan kebangkitan adat di Indonesia yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Kedua, adalah kemampuannya untuk mengungkap paradoks-paradoks yang inherent dalam kebangkitan adat.
Kebangkitan Adat
Jamie S. Davidson dan David Henley dalam pengantar buku tersebut menyebutkan kebangkitan adat tidak pernah diprediksi sebelumnya oleh para peneliti tentang Indonesia dan masih kurang mendapat perhatian ilmiah. Untuk itulah buku itu dipublikasikan dari hasil makalah yang pernah dipresentasikan dalam lokakarya "Kebangkitan adat pada masa transisi demokrasi di Indonesia" di Batam pada 2004 lalu. Faktor-faktor kebangkitan adat dan dimensi-dimensi yang melekat di dalamnya merupakan satu tujuan utama yang jawabannya dibentangkan di dalam buku yang ditulis oleh aktivis masyarakat adat dan pemerhati Indonesia dalam berbagai aspek ini.
Ada empat faktor utama kebangkitan adat di Indonesia.
Pertama, ia merupakan kontribusi dari perkembangan wacana dan dorongan dari organisasi-organisasi internasional. Gerakan masyarakat adat merupakan kelanjutan dari gerakan anti-imperialisme yang mencerminkan sesuatu yang baru dari "gerakan kiri" sebelumnya karena maksudnya mempertahankan keragaman budaya. Upaya untuk membangkitkan gerakan masyarakat adat, tribal peoples, indigenous peoples yang terkadang juga disebut masyarakat "dunia keempat" (fourth world peoples) ini sudah dimulai di Denmark pada 1968 oleh kelompok antropolog professional dengan membentuk The International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA), kemudian World Council of Indigenous Peoples (WCIP) tahun 1975. Pada tataran instrument hukum internasional gerakan masyarakat adat berhasil mendorong lahirnya ILO Convention 169 concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (1989), dan yang paling mutakhir adalah United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007).
Serangkaian perkembangan ini menunjukan bahwa kebangkitan adat adalah sesuatu yang nyata dan mendunia. Organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang disebutkan di dalam buku ini terlibat menjadi bagian organisasi advokasi hak-hak masyarakat adat internasional seperti IWGIA dan AIPP (Asian Indigenous People Pact) yang tidak saja terlibat dalam kegiatan level internasional tetapi juga menjadi tuan rumah bagi para sarjana dan aktivis luar negeri yang membahas soal masyarakat adat. Jejaring antara tiga lapis ruang baik lokal, nasional dan internasional terbangun dalam ikatan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
Kedua, faktor tekanan dan penindasan di bawah Orde Baru. Gerakan masyarakat adat yang bangkit di Indonesia beranjak dari satu asumsi kesadaran bersama bahwa mereka adalah korban dari program-program pembangunan selama Orde Baru berkuasa. Penindasan itu misalkan terjadi lewat UU Desa tahun 1979 di mana institusi adat "dihancurkan" dan diseragamkan menjadi desa. Program transmigrasi yang memindahkan tidak kurang dari lima puluh juta penduduk dari Jawa dan Madura ke wilayah-wilayah di pulau-pulau besar di Indonesia telah menimbulkan konflik horizontal antar transmigran dengan penduduk asli. Belum lagi pengambilalihan tanah-tanah adat oleh pemerintah untuk dikonversi menjadi konsesi penebangan hutan dan pertambangan, kebun kelapa sawit, dan hutan tanaman industri, serta taman-taman nasional. Di Bali, represi ini terjadi seiring dengan proyek "megapariwisata" yang menghadapkan langsung masyarakat dengan aktor-aktor investor global.
Represi ini pula yang mempertemukan kepentingan antara masyarakat adat dengan aktivis lingkungan dan keadilan sosial di Indonesia seperti Walhi dan YLBHI. Embrio sinergi gerakan kalangan ini bahkan sudah muncul pada masa puncak kejayaan Orde Baru lewat aksi-aksi penolakan perampasan tanah adat untuk kepentingan pertambangan dan penebangan hutan.
Ketiga, faktor keterbukaan pasca Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru membuka ruang keterlibatan massa yang massif di Indonesia. Dengan mengutip Jose Ortega Y Gasset (1930), Satjipto Rahardjo pernah menyebut meluasnya peran masyarakat ini sebagai "fenomena massa" yang oleh Gasset diistilahkan dengan la rebelion de las masas (The revolt of the masses). Peran masyarakat itu mewujud dalam bentuknya yang optima, terkadang dalam bentuk kekerasan yang tidak lazim (Rahardjo 2000).
Peluang-peluang yang terbuka pada pasca Orde Baru inilah yang dimanfaatkan oleh aktivis masyarakat adat untuk mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 yang menjadi simbol perubahan radikal yang sedang terjadi. Dalam kongres pertamanya tahun 1999 menggema tuntutan "bila negara tidak mengakui kami, maka kami tidak akan mengakui negara". Tuntutan itu sebenarnya mencerminkan karakter khas dari gerakan masyarakat adat kontemporer yang ingin dihargai sebagai bagian dari negara, bukan malah bertujuan memisahkan diri (separation) dari negara.
Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa keterbukaan tersebut dalam beberapa kondisi malah mengarah pada konflik-konflik horizontal di dalam masyarakat atas nama adat. konflik etnis di Sambas, Sampit di Kalimantan, Poso di Sulawesi Tengah dan di Maluku Utara memperlihatkan fenomena tersebut. Selain itu, momentum reformasi juga dimanfaatkan oleh sultan-sultan untuk kembali menegaskan posisi politik dan otoritasnya mengalokasikan sumber daya dengan membentuk Foruk Komunikasi Keraton-Keraton Indonesia (FKKKI) sebagaimana dibahas oleh Van Klinken dalam buku tersebut (hal 165-86).
Keempat, warisan ideologis dari pemikir hukum adat pada masa kolonial. Warisan ideologis dari kolonial dalam kajian adat yang banyak disorot dalam buku tersebut adalah sumbangsih dari Cornelis Van Vollenhoven, professor di Universitas Leiden sejak tahun 1909 dan bapak dari Leiden School yang melahirkan konsep-konsep kunci dalam wacana adat sampai saat ini. Konsep-konsep tersebut seperti hukum adat (adatrecht), beschickingrecht yang dipadankan dengan hak ulayat dan juga masyarakat hukum adat (adatrechtgemeenschap) yang masih melekat kuat dalam diskursus adat di Indonesia. Kelanjutan dari warisan ideologis itu bahkan masih dijumpai dalam lingkungan akademik tentang materi pelajaran hukum adat dan juga pengembangan kebijakan terkini tentang masyarakat adat yang dilakukan oleh institusi negara.
Selain itu, salah satu konsep Vollenhoven yang bertahan adalah pandangan tentang adat yang esoterik, terbuka (inclusive) dan lentur. Dengan demikian konsep itu dapat digunakan untuk banyak keperluan, bahkan untuk berbagai proyek yang bersifat politis. Istilah adat faktanya dipakai oleh kelompok yang berbeda bahkan tiap orang untuk beragam tujuan yang berbeda. Pejabat pemerintah, elit daerah, kelompok solidaritas etnis, petani, buruh tani, pejuang lingkungan dan penduduk desa menggunakan idiom adat untuk menyuarakan kepentingan politiknya. Tania Li dalam buku ini menyebutkan orang menggunakan adat seringkali untuk mengklaim kemurnian dan keaslian demi kepentingan seseorang.
Paradoks Adat
Kelebihan lain dari buku ini adalah kemampuannya menyuguhkan paradoks-paradoks dalam isu adat kontemporer. Davidson dan Henley menyebutkan bahwa politik adat saat ini mengambil bentuk yang paradoksal sebagai konservatisme radikal di mana kelompok terpinggirkan, orang yang tidak berpunya melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, komunitas dan lokalitas (hal 31).
Meskipun acapkali adat dijadikan sebagai argument untuk memperjuangkan keadilan, dalam kenyataannya malah adat juga dipakai untuk melawan perjuangan keadilan yang lain. Misalkan dengan mengutip Avonius (2004), Davidson dan Henley menyebutkan upaya untuk memperjuangkan emansipasi perempuan malah mendapat tantangan dari kalangan elit adat laki-laki di Lombok dan menganggap hal demikian sebagai sikap melawan adat. Hal ini mengindikasikan bahwa adat yang dipakai untuk mendorong demokratisasi pada level negara masih menyisakan problem-problem anti-demokrasi di dalam lokalitas keberlakuannya.
Karena sifatnya yang terbuka (inklusif), adat juga dipakai oleh elit-elit tradisional untuk meneguhkan posisi politik dan otoritasnya dalam penentuan alokasi sumber daya sebagaimana dibahas oleh Van Klinken yang tercermin dalam kebangkitan kembali sultan-sultan seantero negeri. Inklusivitas adat dimanfaatkan oleh elit dengan merangkul potensi-potensi politik dari orang luar (outsider) yang dijadikan sebagai bagian dari komunitas adat lewat pemberian gelar-gelar adat. Adat dapat dijadikan komiditas dalam transaksi politis para elit lokal.
Pada wujudnya yang lain, adat mempertegas ekslusivitasnya dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak etnis yang akhirnya menimbulkan konflik-konflik horizontal yang mengerikan. Sejumlah konflik etnis menunjukkan bahwa adat dapat digunakan sebagai alat etnopolitis yang turut berkontribusi pada kerusuhan etnis di Sambas dan Sampit di Kalimantan, Poso di Sulawesi Tengah, dan di Maluku Utara.
Satu hal lagi yang dipertanyakan dalam buku ini adalah posisi adat yang istimewa karena dilihat sebagai sesuatu yang esoteris, mulia, suci, murni, baik dan muncul secara alamiah di Indonesia. Dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam maka pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat diasosiasikan sebagai pengelolaan sumber daya alam secara lebih arif (ecological noble savage). Hal ini tidak diragukan lagi, tetapi memiliki sejumlah kerumitan ketika dihadapkan dengan proyek konservasi oleh negara sebagaimana digambarkan oleh Tania Li di Sulawesi Tengah.
Ketika penduduk memperoleh kepercayaan untuk memanfaatkan sebagian kawasan taman nasional menjadi lahan pertanian dan mereka memanfaatkannya untuk menanam tanaman kakao yang bernilai ekspor tinggi, maka dengan cepat mereka kehilangan kepercayaan ekologis sebagai pengelola sumber daya alam yang arif. Dengan kata lain, pelabelan masyarakat adat sebagai pengelola sumber daya alam yang arif, yang merupakan aliansi antara indigenism dengan environmentalism, malah menjadi hal yang menjebak dan menjadi beban yang harus dipikul secara tidak proporsional oleh masyarakat adat (hal 405).
Tantangan
Buku ini membentangkan pemahaman kritis tentang adat dalam politik kontemporer di Indonesia. Bagi para aktivis, peneliti dan LSM yang pro perjuangan masyarakat adat maka hendaknya buku itu menjadi bahan refleksi sekaligus tantangan-tantangan yang harus dijawab, khususnya tentang paradoks-paradoks adat. Sehingga bisa menjernihkan apa dan siapa yang sebenarnya sedang diperjuangkan serta apa dan siapa yang seharusnya tidak diperjuangkan.
Memang isu sosial dalam kadarnya yang sekecil apapun memiliki paradoks yang melekat di dalamnya, termasuk untuk isu adat. Lalu bagaimana mengatasi paradoks di dalam adat? Sejumlah gagasan sebenarnya pernah muncul misalkan Burn dalam buku tersebut mewacanakan kembali apa yang penah disampaikan oleh Barend ter Haar untuk melegalisasi adat dari kebiasaan menjadi hukum melalui peran hakim dalam memutus perkara di pengadilan sebagaimana karakter dalam sistem common law Anglo-Saxon (hal 78). Pada satu sisi gagasan ini menjadi jalan alternatif di tengah masih mandulnya pembaruan peraturan perundang-undangan yang bisa diimplementasikan secara baik untuk mengangkat martabat masyarakat adat. Pada sisi lain, pendayagunaan pengadilan dan asas preseden hukum memiliki tantangan tersendiri di tengah peradilan yang legalistik, positivistik dan rentan suap.
Lain pula dengan Sangaji di dalam buku tersebut yang menempatkan adat sebagai isu kelas, bukan pada isu etnisitas semata. Menurut Sangaji, gerakan masyarakat adat hendaknya menjadikan identitas etnik sebagai titik tolak, tetapi mengartikulasikannya tidak dengan semangat etnosentrik (hal 366). Dengan pendekatan yang terakhir ini, maka sultan-sultan dan elit-elit yang selama ini membajak adat untuk kepentingan pribadi hendaknya dikecualikan dari agenda untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Partisipasi yang luas dari masyarakat menurut van Klinken bisa menjadi cara untuk mengatasi persoalan feodalisme yang melekat pada kesultanan ini (hal 86).
Sedangkan Acciaioli dalam kesimpulan tulisannya melihat pergeseran orientasi dari gerakan masyarakat adat dari gerakan menuntut pengakuan ke gerakan yang berorientasi pada hak asasi manusia secara umum, demokratisasi, dan pelestarian sumber daya alam, yaitu dengan membangun orientasi global dalam rangka mencapai pengakuan adat lokal (hal 346). Akankah menggeser orientasi ke arah hak asasi manusia, demokratisasi dan pelestarian sumber daya alam bisa menjadikan adat dipakai menjadi argumentasi untuk menuntut keadilan bagi pihak yang selama ini paling mengalami ketidakadilan? Mari berkenduri di atas lapik yang membentang, membicarakan masa depan adat dalam politik di Indonesia.





ESTABLISHMENT OF INDIVIDUAL CONSONANCE IN MAKASSAR MUSLIM COMMUNITIES ON CONDOMS THROUGH LOCAL FUNCTION INSTITUTION Adam Badwi, Munadh...