GAGASAN PEMBANGUNAN YANG BERKEADILAN SOSIAL
(Studi Pada Pengentasan Kemiskinan Pedesaan
di Indonesia)
Fokus Kajian:
“ Bagaimana struktur dan
interaksi sosial masyarakat berhubungan secara timbal balik dengan kebijakan
& proses pembangunan”.
Struktur
Sosial Masyarakat
Struktur sosial adalah tatanan atau susunan
sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal
balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial
yang menunjuk pada suatu ketaraturan perilaku sehingga dapat memberikan bentuk
sebagai suatu masyarakat (Soekanto, 1983). Sementara (Shanin, 1971) berpendapat
bahwa struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah tertentu dan
dalam kurun waktu tertentu. Namun demikian menurut Shanin, tidak ada konsep
lapisan sosial yang dapat digunakan untuk menjelaskan secara tepat kenyataan
sosial kelompok petani tertentu, sehingga upaya untuk mengungkap struktur kelas
masyarakat merupakan masalah yang sulit.
Kesulitan ini ditemukan oleh (Beteille, 1977:
119-125) ketika mencoba merumuskan definisi formal tentang kelas dengan cara
membandingkan antara berbagai model penafsiran struktur kelas yang ada dengan
kenyataan sosial yang ditemukan dalam masyarakat agraris di India. Beteille
tidak menemukan satupun definisi formal tentang kelas yang sepenuhnya memuaskan
dilihat dari kemampuan untuk menjelaskan gejala sosial tidak hanya secara logis
dan konsisten tetapi juga sekaligus menunjukkan secara tajam arti sosiologis
kategori-kategori kelas yang dihasilkan oleh definisi-definisi tersebut.
Lebih lanjut Beteille menjelaskan bahwa
pembagian kelas masyarakat pada lazimnya mengikuti dua macam pendekatan formal,
yakni pendekatan dikotomi dan pendekatan gradasi. Pendekatan dikotomi mengandalkan
adanya hubungan ketergantungan antara dua kategori kelas dalam kaitannya dengan
kepemilikan, pengendalian, dan penggunaan tanah, seperti hubungan antara
pemiliki tanah dengan buruh tani. Pendekatan dikotomi memiliki keunggulan dalam
hal menunjukkan arti sosiologis dari hubungan-hubungan anntara berbagai
kategori kelas yang ditampilkan, namun memiliki kelemahan dalam hal menjelaskan
konsistensi hubungan antara berbagai kategori tersebut. Sebagai contoh hubungan
ketergantungan antara dua kategori kelas dalam kaitannya dengan pemilikan dan
penggunaan tanah, seperti hubungan antara pemilik tanah dengan buruh tani.
Model pembagian ini tidak mampu menjelaskan bagaimana sifat hubungan antara
kategori-kategori tersebut bila dihadapkan pada gejala-gejala banyaknya pemilik
tanah sempit yang relatif terbebas dari ketergantungan pada pemilik tanah luas
dan tidak memperkerjakan atau mengupah buruh tani.
Berbicara mengenai struktur sosial dalam
masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran Marx dan Weber,
mengenai dimensi-dimensi stratifikasi sosial. Tesis klasik Marx mengenai sistem
stratifikasi sosial sangat berkaitan erat dengan adanya ketidaksamaan kelas
yang disebabkan oleh perbedaan dalam kehidupan perekonomian, utamanya yang
menyangkut mode produksi. Oleh karena itu pandangan Marx lebih menekankan pada
aspek ekonomi yang menentukan kedudukan kelas (Charon, 1980: 109-114).
Uraian di atas mengandaikan setiap masyarakat
memiliki posisi-posisi dalam struktur sosialnya, posisi setiap orang dalam
struktur social mengikuti pendapat Marx akan ditentukan oleh aksebilitas pada
faktor-faktor ekonomi. Selanjutnya dalam konteks sosiologi disebut stratifikasi
social. Pertanyaan mendasarnya dalam pembahasan penanganan kemiskinan, adalah
apakah kemiskinan memang ada dan harus ada dalam masyarakat? Seandainya memang
kemiskinan harus terjadi oleh sebab posisi dalam struktur maka bagaimana peran
mereka dalam membentuk struktur tersebut? Artinya meskipun terdapat sekelompok
masyarakat miskin dalam sebuah struktur, tetap akan peran dalam redistribusi
sumber-sumber ekonomi.
Perspektif
Kemiskinan di Indonesia
Kedudukan manusia dalam proses pembangunan
terutama pembangunan di pedesaan adalah sumberdaya yang diunggulkan, mengingat
jumlah penduduk desa yang potensial. Wilayah pedesaan umumnya ditandai oleh
karakteristik penduduk yang berpendapatan rendah, produktivitas rendah, tingkat
pendidikan rendah, kesehatan dan gisi relative kurang ditunjang oleh tingkat
kesejahteraan yang rendah pula. Keadaan inilah yang menjadi sasaran
pembangunan. Karena kehidupan mereka perlu ditngkatkan, utamanya untuk
mengatasi kemiskinan masyarakat desa tertinggal. Pengentasan kemiskinan
merupakan kegiatan multidimensional. Tidak hanya terkait dengan sasaran bidang
pendidikan, tetapi juga sasaran pemenuhan kebutuhan dasar manusia (human basic
need) yang harus ditangani secara terpadu. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia
tidak lain adalah kesempatan memperoleh kesehatan, gizi, penghasilan yang
cukup, kesempatan memperoleh pendidikan, dan kehidupan keluarga sejahtera.
Kemiskinan biasanya diartikan sebagai situasi
yang tidak memungkinkan terpenuhinya kebutuhan pokok dengan layak. Sifat-sifat
khusus bangsa, masyarakat dan bahkan etnis diperhitungkan dalam mendefinikan
sifat dasar, komposisi dan jumlah kebutuhan pokok yang bersangkutan. Tetapi
dalam rangka memanfaatkan konsep tersebut dalam menentukan garis kemiskinan,
para ilmuwan telah mempergunakan norma-norma biologi yang biasanya diungkapkan
dalam jumlah makanan yang dikonsumsi. Kendati adanya keberatan utama terhadap
metodologinya (variasi perorangan akan kebutuhan bahan makanan; penilaian untuk
masukan, tapi tidak untuk keluaran; pengumpulan masalah, dan lain-lain), tetapi
definisi garis kemiskinan yang didasarkan pada pendapatan yang diperlukan untuk
membeli sejumlah kebutuhan pokok minimum, merupakan prosedur yang sudah teruji
dengan landasan cukup pragmatis sehingga dapat diselaraskan dengan data yang
dikumpulkan pada tingkat makroekonomi (Gsänger, 1988).
Lebih lanjut Gsänger menyampaikan bahwa;
penilaian dimensi garis kemiskinan di kawasan, yaitu perhitungan kualitatif
taraf dan sifat kemiskinan, dilaksanakan berdasarkan data yang dikumpulkan dari
hasil penelitian rumah tangga nasional. Definisi norma-norma gizi dilakukan
berdasarkan rekomendasi Departemen Kesehatan dan FAO. Jumlah yang dianjurkan
dipertimbangkan berdasarkan harga rata-rata yang sedang berlaku dipedesaan Jawa.
Emil Salim (1976) dalam Supriyatna (1997)
mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakteristik penduduk
miskin tersebut adalah:
1. Tidak memiliki factor produksi
sendiri
2. Tidak
mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri
3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah
4. Banyak di antara mereka yang tidak mempunyai
fasilitas
5. Di antara mereka berusia relative muda dan
tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.
Kelompok penduduk miskin yang berada di
masyarakat pedesaan dan perkotaan, umumnya berprofesi sebagai buruh tani,
petani gurem, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis (gepeng), dan
pengangguran (Supriyatna, 1997). Kelompok ini akan menimbulkan problema yang
terus berlanjut bagi kemiskinan cultural dan structural, bila tidak ditangani
secara serisus, terutama untuk generasi berikutnya.
Pada umumnya, penduduk yang tergolong miskin
adalah golongan residual yakni kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh
berbagai kebijakan Pemerintah yang terkonsentrasikan secara khusus, seperti
melalui IDT. Namun secara umum sudah melalui PKT, program BIMAS, Program
Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan, NKKBS, KUD, PKK, PNPM di desa dsb.
Golongan ini sulit disentuh, karena kualitas sumberdaya yang rendah sehingga
kurang memanfaatkan fasilitas, termasuk faktor-faktor produksi. Mereka juga
kurang memiliki kemampuan, tingkat pendidikan yang rendah, pelatihan yang
sangat minimal, termasuk memanfaatkan pemberian bantuan bagi kebutuhan dasar
manusia, dan perlindungan hukum atau perundang-undangan yang kurang memihak
mereka.
Kemiskinan
Sebuah Realitas Sosial ?
Kemiskinan menjadi sebuah kenisyaan dalam sebuah
realitas sosial. Masyarakat secara umum mengambil sikap semacam itu, atau
kemiskinan memang suatu “kewajaran’ yang sudah pasti tentu ada. Pemaknaan
semacam ini akan membatasi wawasan pemikiran kita pada suatu keadaan yang pasti
dan sudah barang tentu terjadi dalam kondisi kehidupan. Kemiskinan bukan suatu
problema yang harus dipikirkan dan diselesaikan karena hal itu dalam batas
kewajaran.
Namun suatu saat orang miskin yang kita lihat
merayakan pesta perkawinan anaknya, mengundang tetangga dan teman-temannya.
Akan tetapi suatu hari kita akan melihat rumah orang miskin tadi digedor-gedor
orang yang menagih hutang. Dua “realitas” yang tadi kita lihat, mulai
menyangsikan sebuah kata “kewajaran”. Kita akan berfikir; mencari sebab
musababnya atau mungkin kaitan-kaitannya dengan hal-hal lain.
Untuk mendapatkan jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sederhana, tidak seperti bertanya pada
orang di jalan atau dari data. Kita harus menemukenali pribadi si miskin,
bertanya dan mendapat jawaban bukan hanya itu apabila kita ingin sungguh mau
memahami (verstehen) realitas yang disebut dengan kata kemiskinan itu, kita
tidak hanya sekedar meneropong dari luar, meskipun pada tahap tertentu kita
harus meneropong dari luar untuk mengetahui sesuatu. Misalnya ikut dalam
berbagai harapan, perasaan, dan perjuangan yang dilakukan si miskin.
Ringkasnya, memahami kemiskinan melalui proses karena kemiskinan bukan tampak
sebagai barang yang berdiri di luar kita, melainkan melekat pada diri manusia
(Hardiman, 2002).
Hasil peneropongan kita dari
luar tentu sangat bergunan, melalui itu kita akan menbandingkan, mencari
kaitan, mencari sebab, menelusuri sejarah, dan seterusnya. Misalnya kita akan
menemukan struktur-struktur yang menyebabkan mengapa orang tersebut miskin,
mengkin struktur social, politis, ataupun budaya, sehingga mendapatkan sebuah
analisis empiris tentang realitas tersebut.
Pemahaman kita dari dalam mengungkap lebih
banyak lagi, misalnya kita akan menemukan kompleks perasaan-perasaan,
keinginan-keinginan, atau pikiran-pikran yang berkaitan dengan kemiskinan
tersebut. Singkatnya, kemiskinan bukan hanya soal material yang obyektif,
melainkan menembus penghayatan batin dan kesadaran si miskin. Kita akan
menemukan struktur-struktur dalam dari kemiskinan tersebut.
Peran
Sosiologi dalam Penanganan Kemiskinan di Indonesia
Pada dasarnya etos ilmu pengetahuan sosial
adalah mencari kebenaran obyektif atau mencari realisme, yaitu suatu istilah yang
salah satu artinya menunjuk pada suatu pandangan obyektif tentang realitas
(Gunnar Myrdal, 1981 dalam Santoso dan Santoso, 2003). Taraf obyektivitas
ilmu-ilmu social dalam hal ini adalah memandang kenyataan sebagaimana adanya
(das sein) dengan menggunakan metodologi serta teori social berdasar realitas
obyektif yang dijadikan lapangan penyelidikan. Lebih khusus lagi adalah
bagagimana ilmu social dapat membebaskan diri dari: pertama: warisan
peninggalan yang kuat dari penulis-penulis sebelumnya dalam bidang ilmiah yang
digarap yang kadang kala mengandung orientasi normative dan teologis serta
berlandaskan filasafat moral metafisika tentang hukum alam serta utilarianisme yang
menjadi sumber terbentuknya teori social.
Melalui upaya pembebasan diri dari segala
pretense atau kepentingan sosial untuk menghasilkan pengetahun yang obyektif
secara apa adanya, sehingga konsekuensi ilmu-ilmu social sebagai ilmu yang
mempelajari manusia dengan segala gejala sosialnya yang selalu berubah-ubah
dapat diterima sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu alam
Kedua; pengaruh-pengaruh seluruh lingkungan
kebudayaan, social, ekonomi dan politik dari masyarakat tempat ilmu social itu
ditumbuhkan (Gunnar Myrdal, 1981 dalam Santoso dan Santoso, 2003). Pembebasan
ilmu-ilmu social dari pengaruh kehidupan social yang melingkupinya bukan dalam
artian bahwa ilmu social bebas nilai dan kepentingan. Hal ini dikarenakan,
menurut Soedjatmoko (1993) banyak ilmuwan social dalam menghadapi persoalan
social masih terbatas lingkup berlakunya karena terikat pada kebudayaan
tertentu, tetapi bagaimana ilmu-ilmu social membawa seperangkat kepentingan
praktis ke dalam pemahaman persoalan social secara lebih obyektif.
Persoalan kemiskinan, dilihat dari perspektif
ilmu sosial sangatlah kompleks, melibatkan beragam struktur-struktur yang
saling berkaitan dan membentuk sebuah realitas yang disebut kemiskinan. Ilmu
sosial sebagai ilmu histories-hermeneutis menyoroti bidang-bidang
intersubyektif yang selalu berubah-ubah, karena terjadi dalam gejala sosial
bukanlah fakta mati melainkan pendapat manusia atas gejala tersebut. Sehingga
obyek dalam gejala sosial itupun butuh penelaahan disesuaiakan dengan konteks
interaksi yang dinamis. Dalam penelaahan konteks kemiskinan, ilmu sosial tidak
hanya menjelaskan fakta kemiskinan masyarakat akan tetapi penjelasan penyebab
dalam proses yang menyebabkan kemiskinan suatu masyarakat dalam hal; bagaimana
struktur yang terbentuk, unsur-unsur struktur yang terlibat,
disposisi-disposisi struktural dan kultural, dan persepsi-persepsi dalam suatu
konteks yang dinamis serta obyektif.
Sesungguhnya telah banyak kalangan sosiolog
maupun antropolog yang telah melakukan kajian-kajian sosiologis tentang
kemiskinan di Indonesia. Sebut saja antropolog Koentjaraningrat. Dalam
kepentingan pemerintahan atau kepentingan pembangunan pemilihan teori sosial
yang berkenaan dengan kepentingan ideologis di Indonesia pada awalnya terdapat
teori mentalitas di Jawa yang diperkenalkan oleh Koentjaraningrat. Teori
mentalitas ini antara lain mengasumsikan bahwa kemiskinan atau hambatan yang
terjadi dalam proses pembangunan nasional disebabkan oleh mental manusianya.
Lingkungan sosial yang miskin dan tertindas dicari factor penyebabnya pada
mentalitas kerja, sehingga masyarakat perlu diinjeksi prasyarat-prasyarat
mental yang lebih mendorong supaya pembangunan lebih berhasil
(Koentjaraningrat, 1974). Teori yang sampai saat ini berpengaruh dalam dinamika
perkembangan ilmu-ilmu sosial ini kemdian dipertentangkan dengan teori
strukturalisme yang membahas masyarakat dari struktural masyarakatnya bukan
mentalitasnya (Santoso dan Santoso, 2003).
Keberadaan Undang-Undang (UU) tentang Desa
dan Pengentasan Kemiskinan
Keberadaan undang-undang tentang Desa memberi harapan baru
bagi warga yang tinggal di wilayah perdesaan. Undang-Undang ini disusun dengan
semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat
sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan
pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7).
Tak sekadar pengakuan dan penghargaan atas keberadaan desa,
UU ini memberikan hak perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan. Tak
berlebihan bila tujuan pengesahan UU Desa tidak sekadar untuk pengentasan warga
dari kemiskinan, lebih dari itu UU Desa memberikan harapan akan munculnya kelas
menengah baru di kawasan perdesaan.
Kemunculan kelas menengah baru di dunia perdesaan muncul
akibat kucuran dana pembangunan yang cukup besar untuk desa. Bila dirata-rata,
ada kucuran 1,4 Milyar untuk desa dari Pemerintah Daerah (APBD) dan Pemerintah
Pusat (APBN). Warga desa bisa merencanakan pembangunan di wilayahnya tanpa
harus risau alokasi pembiayaannya.
Adanya aliran dana ke desa akan menumbuhkan usaha-usaha
produktif di wilayah desa. Di desa akan muncul sentra-sentra pertumbuhan
ekonomi yang kuat. Angka urbanisasi akan menurun sehingga persoalan di kota
juga berkurang. Lahirnya apa yang disebut dengan desa nol kemiskinan.