Minggu, 04 Juli 2010

Manusia Untuk Manusia

Manusia Untuk Manusia

Punya pekerjaan yang bagus, uang banyak, kendaraan keluaran terbaru, fasilitas hidup yang mewah. Apalagi? Dari pandangan sebagian orang, ini adalah kesuksesan sesungguhnya. Semua orang ingin mendapatkannya. Sebab dalam kondisi demikian ada suatu hal yang diaharapkan, yakni kebahagiaan.
Kata “bahagia’ dan berbagai derivasinya menjadi suatu hal yang paling dicari oleh semua manusia. Sebab kebahagiaan berarti terpenuhinya segala yang dibutuhkan manusia baik secara fisik maupun psikologis tanpa menimbulkan masalah. “Pemenuhan” itu sendiri sangat relatif. Karenanya tidak ada ukuran pasti bagaimana manusia merasa sudah “terpenuhi” kebutuhannya. Setiap orang memiliki ukuran yang berbeda.
Nah, inilah yang menimbulkan ambigu dalam kehidupan menusia modern. Jerjeran informasi yang tidak henti disampaikan lewat berbagai media menyebabkan muncul keinginan untuk mendapatkan dan menguasainya. Sebab informasi juga yang seolah menegaskan bahwa kehidupan ada pada keterpenuhan dan keikutsertaan pada hal-hal baru dan dianggap modern. Apalagi hal ini juga seolah mendapat pembenaan dari masyarakat secara umum, bahwa kebahagiaan ada pada mereka yang “semua” kebutuhannya terpenuhi.
Di sisi lain ketidak pastian standar kebutuhan manusia, menyebabkan tidak semua orang mendapatkan hal yang sama. Seorang tukang becak di pinggir jalan menganggap yang punya mobil bahagia. Sementara yang punya mobil membayangkan tidur nyenyak tanpa hambatan yang dapat dilakukan oleh tukang becak. Penjual sayur memandang pengusaha besar yang bahagia. Sebaliknya, pengusaha besar merindukan jam istirahat yang cukup seperti yang dimiliki tukang sayur. Banyak rakyat awam mengimpikan kebahagiaan laiknya selebritis. Selebritis sendiri ingin keluar dari dunia kamuflase dan hipokrit yang mereka jalani, namun mereka terikat kontrak.. Jadi kebahagiaan selalu ada di atas kepala orang. Inilah keanehan manusia.
Semua ini berpangkal pada ketidakjelasaan cara pandangan mereka tentang arti kehadirannya di dunia. banyak orang merasa sebagai kehadirannya di dunia hanyalah sebuah kebetulan belaka yang berawal dari kerja sama yang baik antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Mereka tumbuh dan melalui kehidupan karena memang dibentuk oleh “hukum alam” dan kebiasaan lingkungannya. Dan pada akhirnya mereka mati, itu karena memang hukum alam mengatakan mereka harus mati.
Sebagian menyadari ada dimensi spiritualitas dalam kehidupannya di dunia. Namun mereka memandang itu adalah bualan orang tua zaman dahulu untuk menakut-nakuti masyarakatnya. Ujung-ujungnya mereka juga menginginkan dan berusaha mendapatkan kehidupan materi yang berlebihan dan penuh kemewahan. Karena itu banyak yang tidak pecaya lagi. Mereka kembali tenggelam dalam arus materialisme dan hedonisme kehidupan. Kebahagiaan dan kesuksesan diukur dari pemenuhan kebutuhan materi dalam menjalani kehidupan. Inilah yang menimbulkan ambiguitas. Dan kahirnya menimbulkan stres dan berbagai penyakit.
Dalam konteks seperti ini perlu kita kembali pada dimensi spiritualitas yang diajarkan agama-agama. Spiritualitas adalah bagian built in dalam diri manusia yang tidak mungkin diingkari. Rasa sedih, bahagia, tertekan, ditinggalkan, tersanjung dan lain sebagainya menjadi salah satu wujud dimensi spiritualitas manusiawi. Dalam konteks ajaran agama, rasa-rasa demikian harus dikelola. Pengelolaannya adalah dengan menyadari dan terus berhubungan dengan sesuatu yang Maha, yang eksis di balik semua yang ada secara material. Dia adalah Tuhan.
Menyadari dan memiliki keterhubungan yang tidak berakhir dengan Tuhan akan menyebabkan manusia punya sebuah pegangan dalam hidup. Pegangan yang paling berarti adalah kepastian masa depan. Kepastian ini akan menyebabkan perjalanan hidupnya penuh dengan pertimbangan yang maslahat, yang baik, yang terencana dan bijak. Inilah awal kedamaian dan ketertiban hidup bersama, dan ini pula yang menjadi dasar kebahagiaan hakiki akan diperoleh oleh manusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ESTABLISHMENT OF INDIVIDUAL CONSONANCE IN MAKASSAR MUSLIM COMMUNITIES ON CONDOMS THROUGH LOCAL FUNCTION INSTITUTION Adam Badwi, Munadh...