Pendahuluan
Distrik Pantai Utara Irian Jaya
merupakan daerah yang terpotong-potong oleh sungai-sungai dan aliran-aliran
kecil yang tak terbilang banyaknya. Sungai-sungai itu bersumber dari
bukit-bukit yang mulai muncul 20 sampai 30 kilometer ke pedalaman, sedangkan
sungai-sungai yang agak besar seperti sungai Tor, Biri, Wiruwai, Toarim dll
bersumber di pegunungan Gautier, Pegunungan Foya, Pegunungan Karamor dan
pegunungan Bonggo yang terdapat kira-kira 40 hingga 60 kilometer ke pedalaman.
Ciri terpenting dari daerah Pantai
Utara adalah curah hujan yang besar yaitu antara 2000-3000 mm selama kurang
lebih 130 hari setiap tahun. Terutama di daerah sekitar Desa Trawasi, Armopa
dan Tromta yaitu tempat tinggal orang Bgu, hujan yang sungguh lebat bersifat
merata sepanjang tahun. Dari bulan November hingga April daerah pantai utara
sangat dipengaruhi angin baratyang dengan pesat bergerak kea rah timur seraya
mendorong air laut dan kemudian menghempaskannya dengan dahsyat di pantai
sehingga pendaratan dengan perahu pada saat-saat itu praktis tidak mungkin.
Antara bulan Mei hingga September angin membalik menjadi angin timur dan lautan teduh pun menjadi teduh tenang.
Sistem Kekerabatan
Dalam suatu rumah tangga biasanya
selain keluarga batih dihuni juga oleh beberapa kerabat lain seperti misalnya
ibu dan ayah yang sudah tua, menantu serta juga cucu-cucu bahkan juga saudara
wanita suami beserta suaminya. Mereka mengenal sistem fam didalam kehidupan mereka,
fam dari keluarga batih akan tercatat dibuku registrasi gereja dan kemudian
gereja akan memberikan mereka sebuah nama baptis di depan nama fam yang berasal
dari garis keturunan ayah.
Istilah fam sebenarnya bukanlah
budaya asli masyarakat Armopa, istilah fam diperkenalkan oleh pembawa agama
Kristen. Dulu sebelum masyarakat Bgu pindah kedaerah pesisir mereka mengenal
istilah auwet (juga berdasarkan garis keturunan ayah) akibat dari pembayaran
mas kawin dari pihak laki-laki kepada wanita, orang Bgu pada zaman dahulu
memiliki adat menetap virilokal, jadi sang istri dan anak-anak mereka tidak
mempunyai cukup waktu untuk menemui kerabat mereka karena masing-masing auwet
sangat jarang berhubungan dan mereka juga terpisah satu sama lain. Kondisi seperti
ini menciptakan adat yang benar-benar patrilinial. Sistem fam berbeda dari
sistem Auwet karena fam tidak begitu mengikat didalam adat dan agama
(dikendalikan oleh gereja) fam juga tidak secara aktif dalam melakukan kegiatan
adat, jadi fungsi fam tidak sekompleks auwet fam tidak lebih dari sekumpulan
orang-orang yang meiliki registrasi yang sama.
Tetapi setelah
dipaksapindah oleh pemerintah kolonial kedaerah pesisir terjadi perubahan besar
didalam kekerabatan mereka. Prinsip
pratrilinela mulai kabur, seseorang mengambil hasil kebun dari tempat dimana
dulu ayahnya berkebun tapi ia juga bisa memetik hasil perkebunan dimana
keluarga dari ibunya dulu berkebun.
Dengan berpidahnya masyarakat Bgu
kedaerah kering (pesisir) maka lenyaplah sistem auwet yang mereka kenal selama
ini. Sistem ini membuat sedemikian rupa sistem kekerabatan patrilinial bertahan
mada masyarakat, yaitu pola menetap pasangan baru yang tinggal dirumah kerabat
suami (virilokal) dan kondisi tempat tinggal yang berjauhan membuat sang
istri tidak bisa berhubungan dengan kerabatnya.
Sistem kekerabatan membuat
kepemilikan tanah menjadi tidak terlalu mengikat pada masyarakat Bgu, seseorang
bisa mengambil sagu dari tempat dimana ayahnya dulu mengambil sagu tapi ia juga
dapat mengabil sagu dimana keluarga ibunya mengambil sagu. selain itu pengaruh
lainnya adalah ketidak pastian kepemilikan tanah yang digunakan untuk tempat
mengambil sagu dan berkebun (walaupun berkebun tidak begitu populer bagi
masyarakat Bgu)
MATA PANCAHARIAN
Memukul Sagu
Memukul sagu adalah mata pencaharian
yang terpenting oleh masyarakat Bgu. Hutan sagu yang sekarang letaknya
kira-kira sekitar 3-5 kilometer jauhnya dari desa, terbagi kedalam
wilayah-wilayah dengan batas-batas yang tidak tegas yang menjadi kelompok
kekerabatan tertentu.
Dua orang pria dalam waktu kira-kira
empat hari dapat memukul datu pohon besar, dengan rata-rata bekerja selama
delapan jam sehari atau keseluruhannya dalam waktu 32 jam. Satu pohon seperti
itu dapat menghasilkan 150-300 kilogram sagu basah. Batang yang sudah terbuka
harus cepat-cepat diambil dan dikerjakan sebab yang terbuka seperti itu akan
dimakan oleh babi hutan. Sagu biasanya dimasak sebagai bubur, roti bakar, yang
dimakan dengan lauk seperti daging, ikan, kerang, atau sayuran
Menangkap Ikan
Pekerjaan mencari ikan merupakan pekerjaan yang dilakukan
oleh pria maupun wanita terutama di daerah pantai utara mencari ikan menjadi
mata pencaharian utama selain mencari sagu. Mereka mencai ikan, kerang, udang,
kepiting, atau hewan air lainnya. Mencari ikan biasanya diakukan oleh paling
banyak 2 keluarga batih dengan 3-4 wanita dan anak-anak.
Berburu
Berburu khususnya dilakukan oleh pria, dan binatang yang
diburu biasanya adalah babi, soa-soa, kangguru, tikus, kadal, ataupun burung.
Metode yang digunakan dalam berburu babi adalah babi digiring oleh
anjing-anjing kesuatu tempat dan kemudian baru di tembak dengan anak panah
seringkali perburuan dilakukan pada malam hari dan hanya menggunakan lampu
senter.
Berkebun
Hanya sedikit masyarakat yang mengenal mata pencarian
berkebun, jelas sekali tampak kalau berkebun hanyalah mata pencarian tambahan
oleh penduduk. Didesa-desa yang letaknya jauh ke darat memang peerkebunan lebih
intensif dilakukan. Tapi sebagian besar orang Bgu tidak memperdulikan berkebun,
tapi ada beberapa orang yang berkebun tidak secara teratur, kebun mereka tidak
bersih dan kadang-kadang ditumbuhi oleh alang-alang karena tidak diolah dengan
serius.
Kebun biasanya dibuka dengan membersihkan belukar kemudian
menebang pohon besar. Seseprang biasanya yang mengambil inisiatif itu bekerja
dengan anak laki-lakinya atau dengan sauda laki-laki atau ipar menurut sistem
tolong menolong atau serse.
Berdagang
Komoditi asal desa ini yang masih dijual adalah sagu bakar (kaus)
dan buah pinang (bnim). Kaus merupakan bungkusan-bungkusan roti sagu
yang tebalnya kira-kira 5 sentimeter, dan berbentuk bundar dengan diameter 50
sentimeter. Seseorang dapat memikul roti semacam itu sebanyak 20 buah dan
beratnya lebih kurang seberat 20 kilogram dan dibawa ke desa tetangga yang
jaraknya 25 kilometer. Disana kaus dibeli oleh tengkulak-tengkulak cina yang
memiliki perahu bermotor dan selanjutnya diangkut ke Jayapura.
Pakaian, Peralatan, Rumah dan Pola
Perkampungan
Pakaian
asli orang Bgu sekarang sudah hamper hilang. Pakaian mereka sehari-hari
sekarang serupa dengan apa yang dipakai orang Indonesia walaupun mereka
memakainya seminim mungkin. Hanya pada hari minggu saja mereka berpakaian
lengkap dengan gaya pakaian pengaruh orang Maluku yaitu sarung dan kebaya putih
panjang bagi para wanita celana, kemeja dan sepatu bagi kaum pria untuk pergi
ke gereja.
Peralatan
rumah tangga (wadah, tempat-tempat untuk menyimpan, alat-alat dapur dsb) serta
perkakas rumah tangga orang Bgu hamper seluruhnya juga merupakan barang import
yang dapat dibeli dalam took-toko di Kota. Alat yang sangat menarik adalah
suatu wadah tembikar yang dipakai untuk membakar sagu kaus yang berupa belahan
dari suatu pot besar yang diletakkan terbujur diatas api. Cara memakainya ialah
dengan mengalasinya dengan daun pisang dimana kemudian diletakkan tepung sagu yang
kemudian ditutup dengan pisang. Diatasnya ditaruh batu-batu yang sudah dibakar
hingga berwarna putih.
Rumah di
desa-desa daerah pantai utara (dalam bahasa Bgu: nuan)adalah bangunan panggung
berbentuk persegi panjang yang tinggi lantainya 4,5 meter dengan ukuran
kira-kira 4x5x3, yang terdiri dari satu ruangan atau lebih. Cukup banyak rumah
hanya terdiri atas satu ruangan saja dimana penghuninya tinggal bersama.
Suatu desa
di daerah Pantai Utara terdiri dari beberapa deret rumah yang terletak di kedua
sisi jalan. Bangunan-bangunan pusat dari desa adalah gereja, sekolah desa dan
rumah pos yaitu rumah yang dipakai bermalam patrol polisi dan pegawai
pemerintahan yang sedang turned an orang-orang dari desa lain yang sedang dalam
perjalanan dapat juga menggunakannya.
Penutup
Kelemahan-kelemahan
sosial yang terdapat di desa Armopa sebagai berikut: jumlah penduduk yang
kecil, adanya pola aktivitas mata pencaharian yang tidak tetap dan teratur,
adat mas kawin yang tinggi, adanya system kehidupan social yang tidak mengenal
banyak aktivitas bersama dan system tolong menolong secara luas dan adanya
organisasi social yang tidak mengenal system kerja bakti yang bersifat spontan.
Kekuatan
system social terdapat pada kedudukan yang kuat dari keluarga inti (pola
sua-mofin) dan sifatnya bebas dari ikatan-ikatan kepada kelompok-kelompok
kekerabatan yang lebih besar. Untuk perkembangan ekonomi, sifat kebebasan
bergerak keluarga inti merupakan potensi social yang baik.
Tambahan:
Teori
yang digunakan :
1.
Pola interaksi social, Desa Armopa sebagai sebuah
masyarakat pedesaan yang oleh Ferdinand Tonnies disebut sebagai masyarakat
gemeinschaft (paguyuban) dan paguyubanlanh yang menyenebabkan orang-orang kota
menilai sebagai masyarakat ini tenang, harmonis, rukun dan damai (adem ayem).
2.
Sistem Sosial, Menurut
Bouman, desa adalah salah satu bentuk dari kehidupan bersama sebanyak beberapa
ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di
dalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha-usaha yang dapat
dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Di desa, terdapat ikatan-ikatan
keluarga yang rapat, taat pada tradisi dan kaidah-kaidah sebagai system social.
Sudah mengenal adat masyarakat bug.namun ditambahkan hukum adat nya dan nama suku nya adalah suku ussu.kampu gnya armopa
BalasHapusMayarakat bug suku ussu didalamnya terdapat awet ketjeway.kubuan baneftar baunik sernai.yang memiliki dataran luas berbukit tinggi dengan aliaran sungai ya g luas.
BalasHapus