Minggu, 26 Oktober 2014

Armopa : SEBUAH DESA PERAMU SAGU DI PANTAI UTARA IRIAN JAYA (SOSIOLOGI KOMUNITAS KHUSUS)

Pendahuluan
Distrik Pantai Utara Irian Jaya merupakan daerah yang terpotong-potong oleh sungai-sungai dan aliran-aliran kecil yang tak terbilang banyaknya. Sungai-sungai itu bersumber dari bukit-bukit yang mulai muncul 20 sampai 30 kilometer ke pedalaman, sedangkan sungai-sungai yang agak besar seperti sungai Tor, Biri, Wiruwai, Toarim dll bersumber di pegunungan Gautier, Pegunungan Foya, Pegunungan Karamor dan pegunungan Bonggo yang terdapat kira-kira 40 hingga 60 kilometer ke pedalaman.
Ciri terpenting dari daerah Pantai Utara adalah curah hujan yang besar yaitu antara 2000-3000 mm selama kurang lebih 130 hari setiap tahun. Terutama di daerah sekitar Desa Trawasi, Armopa dan Tromta yaitu tempat tinggal orang Bgu, hujan yang sungguh lebat bersifat merata sepanjang tahun. Dari bulan November hingga April daerah pantai utara sangat dipengaruhi angin baratyang dengan pesat bergerak kea rah timur seraya mendorong air laut dan kemudian menghempaskannya dengan dahsyat di pantai sehingga pendaratan dengan perahu pada saat-saat itu praktis tidak mungkin. Antara bulan Mei hingga September angin membalik menjadi angin timur  dan lautan teduh pun menjadi teduh tenang.

Sistem Kekerabatan
Dalam suatu rumah tangga biasanya selain keluarga batih dihuni juga oleh beberapa kerabat lain seperti misalnya ibu dan ayah yang sudah tua, menantu serta juga cucu-cucu bahkan juga saudara wanita suami beserta suaminya. Mereka mengenal sistem fam didalam kehidupan mereka, fam dari keluarga batih akan tercatat dibuku registrasi gereja dan kemudian gereja akan memberikan mereka sebuah nama baptis di depan nama fam yang berasal dari garis keturunan ayah.
Istilah fam sebenarnya bukanlah budaya asli masyarakat Armopa, istilah fam diperkenalkan oleh pembawa agama Kristen. Dulu sebelum masyarakat Bgu pindah kedaerah pesisir mereka mengenal istilah auwet (juga berdasarkan garis keturunan ayah) akibat dari pembayaran mas kawin dari pihak laki-laki kepada wanita, orang Bgu pada zaman dahulu memiliki adat menetap virilokal, jadi sang istri dan anak-anak mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk menemui kerabat mereka karena masing-masing auwet sangat jarang berhubungan dan mereka juga terpisah satu sama lain. Kondisi seperti ini menciptakan adat yang benar-benar patrilinial. Sistem fam berbeda dari sistem Auwet karena fam tidak begitu mengikat didalam adat dan agama (dikendalikan oleh gereja) fam juga tidak secara aktif dalam melakukan kegiatan adat, jadi fungsi fam tidak sekompleks auwet fam tidak lebih dari sekumpulan orang-orang yang meiliki registrasi yang sama.
Tetapi setelah dipaksapindah oleh pemerintah kolonial kedaerah pesisir terjadi perubahan besar didalam kekerabatan mereka. Prinsip pratrilinela mulai kabur, seseorang mengambil hasil kebun dari tempat dimana dulu ayahnya berkebun tapi ia juga bisa memetik hasil perkebunan dimana keluarga dari ibunya dulu berkebun.
Dengan berpidahnya masyarakat Bgu kedaerah kering (pesisir) maka lenyaplah sistem auwet yang mereka kenal selama ini. Sistem ini membuat sedemikian rupa sistem kekerabatan patrilinial bertahan mada masyarakat, yaitu pola menetap pasangan baru yang tinggal dirumah kerabat suami (virilokal) dan kondisi tempat tinggal yang berjauhan membuat sang istri tidak bisa berhubungan dengan kerabatnya.
Sistem kekerabatan membuat kepemilikan tanah menjadi tidak terlalu mengikat pada masyarakat Bgu, seseorang bisa mengambil sagu dari tempat dimana ayahnya dulu mengambil sagu tapi ia juga dapat mengabil sagu dimana keluarga ibunya mengambil sagu. selain itu pengaruh lainnya adalah ketidak pastian kepemilikan tanah yang digunakan untuk tempat mengambil sagu dan berkebun (walaupun berkebun tidak begitu populer bagi masyarakat Bgu)
MATA PANCAHARIAN
Memukul Sagu
Memukul sagu adalah mata pencaharian yang terpenting oleh masyarakat Bgu. Hutan sagu yang sekarang letaknya kira-kira sekitar 3-5 kilometer jauhnya dari desa, terbagi kedalam wilayah-wilayah dengan batas-batas yang tidak tegas yang menjadi kelompok kekerabatan tertentu.
Dua orang pria dalam waktu kira-kira empat hari dapat memukul datu pohon besar, dengan rata-rata bekerja selama delapan jam sehari atau keseluruhannya dalam waktu 32 jam. Satu pohon seperti itu dapat menghasilkan 150-300 kilogram sagu basah. Batang yang sudah terbuka harus cepat-cepat diambil dan dikerjakan sebab yang terbuka seperti itu akan dimakan oleh babi hutan. Sagu biasanya dimasak sebagai bubur, roti bakar, yang dimakan dengan lauk seperti daging, ikan, kerang, atau sayuran
Menangkap Ikan
Pekerjaan mencari ikan merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh pria maupun wanita terutama di daerah pantai utara mencari ikan menjadi mata pencaharian utama selain mencari sagu. Mereka mencai ikan, kerang, udang, kepiting, atau hewan air lainnya. Mencari ikan biasanya diakukan oleh paling banyak 2 keluarga batih dengan 3-4 wanita dan anak-anak.
Berburu
Berburu khususnya dilakukan oleh pria, dan binatang yang diburu biasanya adalah babi, soa-soa, kangguru, tikus, kadal, ataupun burung. Metode yang digunakan dalam berburu babi adalah babi digiring oleh anjing-anjing kesuatu tempat dan kemudian baru di tembak dengan anak panah seringkali perburuan dilakukan pada malam hari dan hanya menggunakan lampu senter.
Berkebun
Hanya sedikit masyarakat yang mengenal mata pencarian berkebun, jelas sekali tampak kalau berkebun hanyalah mata pencarian tambahan oleh penduduk. Didesa-desa yang letaknya jauh ke darat memang peerkebunan lebih intensif dilakukan. Tapi sebagian besar orang Bgu tidak memperdulikan berkebun, tapi ada beberapa orang yang berkebun tidak secara teratur, kebun mereka tidak bersih dan kadang-kadang ditumbuhi oleh alang-alang karena tidak diolah dengan serius.
Kebun biasanya dibuka dengan membersihkan belukar kemudian menebang pohon besar. Seseprang biasanya yang mengambil inisiatif itu bekerja dengan anak laki-lakinya atau dengan sauda laki-laki atau ipar menurut sistem tolong menolong atau serse.
Berdagang
Komoditi asal desa ini yang masih dijual adalah sagu bakar (kaus) dan buah pinang (bnim). Kaus merupakan bungkusan-bungkusan roti sagu yang tebalnya kira-kira 5 sentimeter, dan berbentuk bundar dengan diameter 50 sentimeter. Seseorang dapat memikul roti semacam itu sebanyak 20 buah dan beratnya lebih kurang seberat 20 kilogram dan dibawa ke desa tetangga yang jaraknya 25 kilometer. Disana kaus dibeli oleh tengkulak-tengkulak cina yang memiliki perahu bermotor dan selanjutnya diangkut ke Jayapura.
 Pakaian, Peralatan, Rumah dan Pola Perkampungan
Pakaian asli orang Bgu sekarang sudah hamper hilang. Pakaian mereka sehari-hari sekarang serupa dengan apa yang dipakai orang Indonesia walaupun mereka memakainya seminim mungkin. Hanya pada hari minggu saja mereka berpakaian lengkap dengan gaya pakaian pengaruh orang Maluku yaitu sarung dan kebaya putih panjang bagi para wanita celana, kemeja dan sepatu bagi kaum pria untuk pergi ke gereja.
Peralatan rumah tangga (wadah, tempat-tempat untuk menyimpan, alat-alat dapur dsb) serta perkakas rumah tangga orang Bgu hamper seluruhnya juga merupakan barang import yang dapat dibeli dalam took-toko di Kota. Alat yang sangat menarik adalah suatu wadah tembikar yang dipakai untuk membakar sagu kaus yang berupa belahan dari suatu pot besar yang diletakkan terbujur diatas api. Cara memakainya ialah dengan mengalasinya dengan daun pisang dimana kemudian diletakkan tepung sagu yang kemudian ditutup dengan pisang. Diatasnya ditaruh batu-batu yang sudah dibakar hingga berwarna putih.
Rumah di desa-desa daerah pantai utara (dalam bahasa Bgu: nuan)adalah bangunan panggung berbentuk persegi panjang yang tinggi lantainya 4,5 meter dengan ukuran kira-kira 4x5x3, yang terdiri dari satu ruangan atau lebih. Cukup banyak rumah hanya terdiri atas satu ruangan saja dimana penghuninya tinggal bersama.
Suatu desa di daerah Pantai Utara terdiri dari beberapa deret rumah yang terletak di kedua sisi jalan. Bangunan-bangunan pusat dari desa adalah gereja, sekolah desa dan rumah pos yaitu rumah yang dipakai bermalam patrol polisi dan pegawai pemerintahan yang sedang turned an orang-orang dari desa lain yang sedang dalam perjalanan dapat juga menggunakannya.

Penutup
Kelemahan-kelemahan sosial yang terdapat di desa Armopa sebagai berikut: jumlah penduduk yang kecil, adanya pola aktivitas mata pencaharian yang tidak tetap dan teratur, adat mas kawin yang tinggi, adanya system kehidupan social yang tidak mengenal banyak aktivitas bersama dan system tolong menolong secara luas dan adanya organisasi social yang tidak mengenal system kerja bakti yang bersifat spontan.
Kekuatan system social terdapat pada kedudukan yang kuat dari keluarga inti (pola sua-mofin) dan sifatnya bebas dari ikatan-ikatan kepada kelompok-kelompok kekerabatan yang lebih besar. Untuk perkembangan ekonomi, sifat kebebasan bergerak keluarga inti merupakan potensi social yang baik.









Tambahan:
Teori yang digunakan :
1.    Pola interaksi social, Desa Armopa sebagai sebuah masyarakat pedesaan yang oleh Ferdinand Tonnies disebut sebagai masyarakat gemeinschaft (paguyuban) dan paguyubanlanh yang menyenebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat ini tenang, harmonis, rukun dan damai (adem ayem).

2.    Sistem Sosial, Menurut Bouman, desa adalah salah satu bentuk dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Di desa, terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, taat pada tradisi dan kaidah-kaidah sebagai system social.

2 komentar:

  1. Sudah mengenal adat masyarakat bug.namun ditambahkan hukum adat nya dan nama suku nya adalah suku ussu.kampu gnya armopa

    BalasHapus
  2. Mayarakat bug suku ussu didalamnya terdapat awet ketjeway.kubuan baneftar baunik sernai.yang memiliki dataran luas berbukit tinggi dengan aliaran sungai ya g luas.

    BalasHapus

ESTABLISHMENT OF INDIVIDUAL CONSONANCE IN MAKASSAR MUSLIM COMMUNITIES ON CONDOMS THROUGH LOCAL FUNCTION INSTITUTION Adam Badwi, Munadh...