Quo Vadis Kajang? Sebuah Telaah Kritis
A. Fokus
dan Lokus
Observasi
1. Fokus
Fokus pengamatan
adalah masyarakat adat Ammatoa
, yaitu suatu entitas sosial dalam
kehidupan modern yang tetap
mempertahankan ciri kehidupan tradisionalnya.
2. Lokus
Lokus observasi
adalah Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Di Desa Tana Toa
ini tinggal suku adat Kajang yaitu suku adat yang ada di Bulukumba dan sudah
ada sejak jaman megalitikum. Kawasan adat ini dicirikan dengan berbagai atribut
seperti pakaian, sarung dan penutup kepala yang serba hitam. Kawasan adat
Kajang berada dalam wilayah administrasi Desa Tanatowa. Karena
letaknya yang berada di Desa Tanatowa, praktis kawasan adat ini juga dikenal
sebagai kawasan adat Tanatowa. Desa Tanatowa jaraknya dengan ibukota kecamatan Kajang kurang lebih 29 km,
jarak ibukota Bulukumba
lebih kurang 77 km dan dari Bulukumba ke Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan
(Makassar) sejauh 167 km. Berarti jarak dari Makassar ke Tanatowa sejauh 273
km, dapat ditempuh dengan menggunakan bus antar Kota atau angkutan Kota
setempat.
Penduduk dan Batas Wilayah
Desa Tanatowa
berbatasan dengan: 1) sebelah Utara Desa Sa Panang, 2) sebelah Timur Desa
Batunilamung, 3) sebelah Selatan Desa Pattiroang, dan 4) sebelah Barat Teluk
Bone. Perkembangan penduduk di Kecamatan Kajang relatif tinggi dengan rata-rata
pertumbuhan sekitar 5% pertahun. Di Kecamatan Kajang terdapat 19 Desa dengan
jumlah penduduk sebanyak 45.183 jiwa, di Desa Tanatowa jumlah penduduknya
sebesar 3.900 jiwa dengan rumpun keluarga 639 KK. khusus komunitas Ammatoa
berjumlah 150 KK atau sekitar 500 jiwa (sumber: Bagian Ketiga Patuntung Sebagai
Pandangan Hidup di Kajang, hal.71).
Masuk di kawasan
adat Kajang harus melewati jalan sempit di samping sebuah pendopo yang
dijadikan sebagai pintu masuk ke kawasan ini. Segala bentuk kendaraan tidak
bisa digunakan di kawasan ini. Jalan yang ada adalah jalan setapak dengan lebar
sekitar 1,5 meter yang dikeraskan dengan bebatuan. Tiga buah makam yang
(katanya) masih baru kami lewati sebelum mencapai perkampungan yang letaknya
tidak jauh dari situ.
Suku Kajang merupakan sub etnis Bugis/Makassar yang masih
murni. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Makassar dialek Konjo. Masyarakat adat
Kajang secara geografis terbagi atas Kajang Dalam (ilalang embayya) dan
Kajang Luar (pantarang embayya). Orang-orang Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Toa,
Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa
Tambangan. Kawasan Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah
utara, Limba di sebelah
timur, di sebelah Selatan berbatasan dengan
Seppa, dan sebelah barat berbatasan dengan Doro. Sedangkan
Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa
diwilayah Kecamatan Bulukumba diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto
Minasa dan Desa Batu Lohe.
Suku Kajang menempati kawasan hutan seluas (710 ha terletak
pada ketinggian 150-200 mdpl) diakui masyarakat sebagai kawasan lahan adat/
lahan adat. Kawasan ini terdiri dari Hutan Inti Adat (hutan keramat/ hutan
larangan) seluas 331, 17 ha (berada di wilayah Desa Tanatowa) yang berfungsi
sebagai hutan lindung dan konservasi, serta Hutan Produksi (hutan tebangan)
seluas 384 ha. Secara umum luas
kawasan hutan negara di Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Bulukumba sekitar
14.144 ha (Rustanto, 2010).
Karakteristik Masyarakat
Masyarakat adat
Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km.
Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang
modern, termasuk kegiatan ekonomi dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan
dengan pemerintahan Kabupaten Bulukumba dan dunia luar
secara umum. Mereka hidup dengan lingkungan hutannya dan bersandar pada pandangan hidup dan adat yang mereka yakini.
Orang-orang yang hidup di kawasan adat ini berpakaian
serba hitam. Bagi mereka warna hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan
bila kita memasuki kawasan adat Ammatoa ini pakaian kita pun harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna sebagai
bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan, karena tidak ada warna hitam yang lebih
baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam
menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang
pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan,
utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.
Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat
suatu kawasan inti yang berada di sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat.
Kawasan inti ini terlihat dari letak atau pola pemukiman yang menghadap ke arah
Barat atau arah kiblat, yang masih menyesuaikan dengan adat dan tradisi mereka.
Setiap bentuk rumah Suku Kajang selalu sama, mereka menganggap persamaan itu
sebagai simbol kebersamaan. Bentuk
rumah secara
fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masyarakat Bugis-Makassar, yaitu rumah tinggi (panggung) dengan bahan dari kekayaan hutan
disekitarnya.
Tana Toa lahir karena ketidakteraturan yang
terjadi di masa lampau. Seluruh kehidupan di dunia termasuk manusia pada waktu
itu masih dalam keadaan liar. Keadaan ini mendorong sejumlah orang untuk
membentuk sebuah komunitas berikut segala aturan yang ada di dalamnya yang
sampai saat ini masih berusaha
dipertahankan oleh masyarakatnya.
A. Metode
Telaah/Penalaran
Metode
telaah/penalaran yang digunakan dalam kajian ini adalah gabungan antara
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Hal ini dilakukan mengingat obsevasi
yang dilakukan adalah rapid observation karena keterbatasan waktu dan
biaya. Diharapkan dari kombinasi tersebut akan menghasilkan
proposisi-proposisi yang bersifat komprehensif dan mendalam.
Karena data yang
dikumpulkan dalam rapid observation ini adalah data kualitatif maka
analisis awal sudah langsung dilakukan sejalan dengan pengumpulan data. Dalam rapid
observation ini pengamatan dilakukan pada beberapa hal, yaitu:
- Overt Behavior.
Sebagai masyarakat
dengan mata pencaharian utama berkebun dan bertani, orang Kajang Dalam
mempunyai pembagian kerja yang tegas antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
bekerja di kebun dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan
di luar rumah, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dan semua
pekerjaan di sekitar rumah. Tetapi pembagian kerja ini tidak berlaku mutlak
karena perempuan juga bisa membantu pekerjaan di kebun atau sawah.
Dalam observasi ini ditemukan pula beberapa perempuan Kajang menggunakan
waktu luangnya dengan menenun sarung. Kegiatan menenun sarung ini dilakukan
sambil menjaga anak-anak bermain. Karena dilakukan saat luang, menenun sarung
bisa memakan waktu sampai dua minggu. Hampir di setiap rumah ada alat menenun,
tetapi tidak semua anggota keluarga dalam rumah itu pandai menenun.
Lain lagi dengan
anak-anak. Anak-anak yang berusia balita bermain dengan teman-teman sebayanya
dan berkumpul di salah satu rumah. Saat ibu yang punya rumah menenun, anak-anak
bermain di sekitar itu. Ada yang bermain lari-lari, ada yang bermain-main air
(rupanya anak si ibu penenun) dengan cara berendam di dalam baskom besar,
sambil sesekali mencipratkan air ke temannya yang menunggu di luar baskom.
Beberapa anak bermain dengan kincir angin dari plastik berwarna warni, yang
akan berputar jika kincirnya kena angin, ditiup atau dibawa berlari.
Tetapi rupanya ada pembagian kerja khusus pada keluarga
Ammatoa.
Ammatoa tidak
melakukan pekerjaan kebun atau sawah secara
langsung. Dia hanya menerima hasil kebun atau sawah dari warganya yang
dengan sukarela membagi hasil kebun atau sawah mereka kepada Ammatoa. Hal itu
dilakukan sebagai bentuk rasa hormat dan pengabdian sesuai dengan Passang ri
Kajang, suatu pedoman hidup yang memang menjadi pegangan masyarakat Kajang
sehari-hari. Istri Ammatoa tetap dengan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang
mengurusi rumah. Kedudukan sebagai istri belum jelas terlihat saat observasi
dilakukan, hanya bisa dilihat saat Ammatoa menerima kami (tamu), istrinya tetap
sibuk memasak (seperti diketahui letak dapur tepat di depan pintu masuk) dan
tidak terganggu dengan kegiatan yang dilakukan suaminya dan adanya banyak tamu
di rumahnya.
- Pola Interrelasi Jaringan-Jaringan Sosial
Pola kerja sama
tampak di antara anggota keluarga. Kerja sama ini dilakukan saat kerja di kebun
atau sawah. Ibu dan anak-anak biasanya membantu pekerjaan suami dan ayah mereka
saat musim tanam dan musim panen. Kompetisi dan konflik cenderung tidak ada.
Bisa dikatakan pola perilaku dan hubungan antar-warga selalu dihubungkan dengan
Passang ri Kajang, karena mereka bertindak sesuai dengan
aturan-aturan atau ajaran-ajaran yang tertuang pada Pasang ri Kajang,
yaitu pesan-pesan luhur seperti ajaran
tentang
keharusan ingat kepada Tuhan, harus memupuk rasa kekeluargaan dan
saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar,
dan tawakal, serta
mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu
sebaik-baiknya.
Secara
harafiah Pasang berarti pesan. Tetapi bagi masyarakat Kajang, Pasang
tidak hanya sekedar
pesan, tetapi merupakan
“wahyu” yang harus dilakukan. Pelanggaran terhadap Pasang akan langsung
dikenai sanksi yang berlaku saat hidup di dunia maupun setelah meninggal. Pasang
mengajarkan bahwa dunia yang diciptakan Turie’ A’ra’na beserta isinya
haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus
dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta
tidak boleh dirusak.
Ada pesan leluhur yang terus mereka pegang hingga saat ini, yaitu “Jangan kau
tambah hutan tapi juga jangan kau kurangi”.
Karena itu merawat hutan merupakan suatu kewajiban. Mereka percaya hutan memiliki
kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana jika tidak dijaga kelestariannya. Hutan
memiliki kekuatan supranatural yang tidak dapat dihadapi manusia. Untuk itu
mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara
bahaya. Dalam mengelola hutan pun mereka membagi dalam zona-zona
tertentu. Seperti Rabbang Seppang (batas sempit) adalah zona lindung. Zona
tersebut tidak boleh diganggu bahkan tidak boleh masuk sembarangan dalam kawasan itu. Kemudian Rabbang Laura (batas luas)
adalah zona wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari misalnya untuk wilayah perkampungan, pertanian, perkebunan, dan sebagai lokasi penggembalaan ternak.
3.
Alat-Alat
Produksi/Kehidupan yang Digunakan
Dalam
perjalanan dari batas Kajang Luar dengan Kajang Dalam ke Desa Tana Toa sudah
banyak pengaruh kebudayaan modern yang kelihatan. Teknologi dari “luar” Kajang
Dalam sudah banyak digunakan oleh masyarakat di kawasan adat ini.
Di Pintu masuk
ke kawasan adat terlihat beberapa sepeda motor yang diparkir berjejer tepat di
pintu masuk. Awalnya kami mengira ada beberapa pengunjung lain di kawasan adat
ini selain kami, nanti baru diketahui bahwa motor-motor itu adalah milik sanak
keluarga mereka. Hal lain yang sempat kami lihat adalah pembuatan jembatan kayu
yang dipasang tidak hanya menggunakan pasak tetapi sudah memakai kayu. Lebih
jauh kami berjalan, kami juga melihat bahwa kawasan hutan adat dibatasi bukan
menggunakan pagar tanaman atau kayu-kayu hutan sebagaimana seharusnya, tetapi
sudah menggunakan kawat berduri.
Teknologi juga
sudah digunakan dalam pembuatan makam. Jika dibandingkan dengan makam lama yang
nisannya menggunakan batu-batu andesit dengan struktur alami, maka nisan pada
makam yang baru sudah menggunakan batu karst yang dibuat menyerupai nisan lama.
Teknik pemotongan batu dilakukan dengan menggunakan mesin. Pada nisan yang baru
juga diukir nama si mati. Sedangkan pada nisan yang lama tidak tertera nama
orang yang dikubur disitu.
Pengaruh lain
yang terlihat di kawasan adat ini adalah pada pakaian. Beberapa warga laki-laki
terlihat menggunakan celana boxer warna hitam bergaris putih di sampingnya.
Pakaian-pakaian yang dijemur sudah berwarna-warni. Memang masih terlihat warga
yang menggunakan baju hitam-hitam tetapi kebanyakan orang-orang tua.
Pengaruh modern
semakin banyak terlihat saat memasuki rumah. Di rumah Ammatoa sendiri sudah
digunakan panci dan wajan dari alumunium untuk memasak. Ada termos untuk air
panas. Selain barang-barang keperluan dapur, barang-barang untuk makan dan
keperluan kamar mandi seperti piring, gelas, ember, dan gayung modern juga
sudah digunakan. Dikatakan modern karena barang-barang itu terbuat dari plastik
dan aluminium. Bahkan mereka juga makan menggunakan sendok dan garpu yang
terbuat dari stainless steel.
Bentuk rumah
juga sudah mengalami perubahan. Jika dulu dapur, tempat kencing, tempat makan
dan ruang tamu tidak dibatasi dengan jelas, maka saat ini sudah ada warga yang
menutup dapur sekaligus tempat kencing dengan dinding bambu dan menggunakan
gordijn sebagai pintunya.
Pada kehidupan sosial lain, bentuk modernisasi terlihat
pada pemakaian handphone, pakaian yang berwarna-warni (kecuali warna merah dan
merah jambu), kesempatan sekolah di luar kawasan adat, dan keinginan untuk
bekerja dan mendapat penghasilan yang lebih mudah dan lebih banyak di luar
kota, dibandingkan jika hanya membantu orang tua bekerja di kebun.
Selain itu, dengan kemajuan jaman, kerajinan tenun sarung
dibuat dengan benang hitam dan biru tua yang dibeli di Kota Makassar. Mereka
tidak lagi memberi warna benang untuk sarung adat secara alami seperti yang
dilakukan pendahulu mereka beberapa tahun yang lalu. Bahkan mereka sudah bisa
menetapkan harga pada sarung hasil tenunan mereka, tanpa ragu harga sarung
ditetapkan sebesar Rp700,000. Dari sini dapat disimpulkan bahwa uang sudah
mempunyai arti yang penting dalam kehidupan mereka.
4.
Potensi Pemberdayaan
Meskipun hanya
melakukan rapid oberevation tetapi kami melihat banyak potensi yang bisa
dikembangkan di kemudian hari. Pengembangan potensi ini bisa dimulai dengan
internalisasi Passang ri Kajang kepada generasi penerus. Sebagai indigenuos
local, Passang ri Kajang adalah aset yang harus dilestarikan demi
masa depan adat Ammatoa khususnya dan orang Kajang pada umumnya.
Masyarakat adat Kajang Dalam adalah jenis masyarakat yang
homogen, yang mempunyai ikatan utama yaitu kepercayaan, cita-cita dan komitmen
moral bersama, maka¸ meminjam istilah yang dikembangkan Durkheim, solidaritas
yang berkembang adalah solidaritas mekanik. Solidaritas ini berkembang karena
warga Ammatoa selalu sama-sama terlibat dalam suatu aktivitas yang sama yang sifatnya
religius dan memiliki tanggung jawab yang sama (Ritzer, 2011:91-92). Hal itu
terpusat pada Passang ri Kajang. Kesadaran kolektif di kawasan adat ini
bisa sangat efektif dalam pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya
alam, jika: 1) tetap ada sejumlah orang yang terikat bersama dalam nilai dan
norma yang sama, 2) jika setiap warga adat Ammatoa menyadari kebersamaannya, 3)
jika mereka mengetahui dan mengerti nilai dan norma yang mengikat mereka, dan
4) jika mereka tahu dan yakin tujuan mereka. Giddens menyebutnya empat dimensi
kesadaran kolektif masyarakat yang terbagi atas: volume, kekuatan, kejelasan,
dan isi (Ritzer, 2011:92). Tetapi kesadaran kolektif mereka bisa juga mengalami
eliminasi jika terjadi perubahan sosial karena pengaruh modernisasi.
Potensi lain
adalah dikembangkannya kerajinan ATBM karena kerajinan sarung dari kawasan adat
ini mempunyai ciri sendiri yang berbeda dengan motif sarung dari daerah lain,
dan pantas disejajarkan dengan kerjinan sarung dari Bugis, Makassar, Toraja dan
Mandar yang sudah lebih dulu populer. ATBM di kawasan adat ini dikerjakan
dengan cua cara, yaitu dengan cara berdiri dan dengan duduk. Mengerjakan
pembuatan sarung dengan cara berdiri dilakukan di luar rumah, sedangkan yang
lain dilakukan di dalam rumah.
5.
Peristiwa yang Menggambarkan Adanya
Perubahan Sosial.
Dengan masuknya
kawasan adat pada wilayah NKRI otomatis ada dua model kepemimpinan di kawasan
adat, yaitu kepemimpinan adat yang dikepalai oleh Ammatoa dan kepemimpinan
struktural pemerintah RI yang dipegang oleh kepala desa. Dua model kepemimpinan
ini sudah pasti membawa banyak perubahan dalam kehidupan sosial di
kawasan adat. Beberapa hal yang bersifat negatif maupun positif bisa terjadi
dengan kondisi seperti itu karena setiap perubahan pasti membawa dampaknya
masing-masing.
6.
Jaringan-Jaringan Institusi Yang
Terlibat
Institusi yang
berkembang di masyarakat Kajang adalah institusi yang berhubungan dengan adat (bersifat
kultural) dan institusi pemerintah (struktural). Institusi kultural berjalan di
bawah naungan ada’ lima. Institusi yang bersifat internal ini
berhubungan langsung dengan keseharian masyarakat Kajang Dalam. Biasanya
mengurusi pelanggaran-pelanggaran adat yang berhubungan dengan Passang ri
Kajang.
Sedangkan
institusi struktural adalah institusi di bawah pemerintah, yaitu kepala desa,
camat, dan bupati. Seperti diketahui, kawasan adat berada di Kajang Dalam yang
terdiri dari dua desa yaitu Desa Tana Toa dan desa Tambang. Kawasan adatnya
sendiri berada di Desa Tana Toa. Kedua desa ini berada dalam wilayah Kecamatan
Kajang.
7.
Kelanggengan Dominasi.
Dari uraian di
atas bisa diambil kesimpulan bahwa ada dua struktur dominasi yang berlaku di
kawasa adat Ammatoa. Struktur dominasi itu meliputi dominasi ada’lima
dan dominasi struktural pemerintah. Dominasi adat diaktualisasikan dengan
simbol-simbol yang sudah dipahami oleh warganya, seperti rumah Ammatoa dianggap
sebagai rumah keramat dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Semua hal
yang berhubungan dengan Ammatoa adalah keramat. Dominasi adat seperti ini oleh
Bourdieu disebut sebagai symbolic
domination, yaitu: actualized, reproduced, and furthered through
a set of practises, not given a fixed or timeless system of differences
(Foster, 1986:105).
Sedangkan
dominasi struktural meliputi kepala desa dengan segala aparatnya. Dengan
terjadinya dua dominasi itu maka tidak mengherankan jika kadang-kadang terjadi
benturan kepentingan di antara institusi itu.
Tetapi tampaknya Ammatoa sebagai
pemimpin adat serta karena kearifannya mampu menerima akibat dari benturan itu,
hal itu terlihat dari kondisi Kajang Dalam saat ini salah satunya adalah tidak
terlalu ketat memberlakukan warganya untuk mengenakan pakaian serba hitam.
8.
Infrastruktur Konsumerisme
Tidak bisa
dihindari bahwa pengaruh modernisasi tidak bisa dihambat oleh suku bangsa mana
pun, termasuk masyarakat adat Ammatoa. Dibangunnya fasilitas-fasilitas di
sekitar kawasan itu, seperti jalan akses untuk masuk dan keluar ke kawasan adat
yang sudah diaspal bagus, membuat pengaruh itu semakin cepat masuk.
Bangunan
sekolah dasar juga sudah ada tepat di depan pintu masuk kawasan adat. Adanya
bangunan sekolah di dekat situ membuka peluang anak-anak dari Kajang Dalam
untuk bersekolah. Tetapi peluang ini tidak dibarengi dengan support dari
orang tua atau yang lainnya dengan alasan keterbatasan biaya.
B.
Pisau Analisis: Anti-Positivistik
Terjadi
pergeseran budaya dalam komunitas ini, yang jika dibiarkan, diperkirakan dalam
kurun beberapa tahun ke depan sudah terkikis karena proses modernisasi. Tetapi,
jika dipikirkan secara logis sebenarnya hal itu adalah hak mereka untuk
berubah. Bahkan jika tidak mengikuti perkembangan yang terjadi saat ini warga
adat Ammatoa akan sangat ketinggalan dalam hal teknologi dan komunikasi.
Keberadaan
dua macam struktur dominasi di kawasan adat berpengaruh pada kepemimpinan
mereka. Terjadi ambiguitas pada masing-masing pemimpin. Di satu sisi ingin
mempertahankan struktur dominasinya, di sisi lain ada hal-hal yang harus
dipenuhi baik yang bersifat pribadi maupun bersifat umum.
Pada
dominasi struktural, ambiguitas yang terjadi pada masing-masing kepala desa
adalah kenyataan bahwa selain jadi kepala desa mereka juga pemangku adat yang
masuk dalam ada’lima. Tuntutan atas kesadaran kolektif beradu dengan
kepentingan pemerintah (atau pribadi). Sedangkan pada dominasi yang bersifat
kultural juga terjadi ambiguitas pada Ammatoa. Di satu sisi harus
mempertahankan nilai dan norma adat di pihak lain modernisasi sudah mulai
memasuki dan mempengaruhi nilai dan norma itu. Ambigutias tidak akan terjadi
pada masing-masing pemimpin jika jabatan kepala desa dan camat dijalankan oleh
orang yang bukan pemangku adat Ammatoa..
Penerimaan
pengaruh modern di kawasan adat seperti dilakukan dengan setengah-setengah.
Antara “ya” dan “tidak”. Sikap Ammatoa sendiri tidak menunjukkan keengganannya
menerima modernitas karena dia memberi kelonggaran-kelonggaran pada warganya
saat ini dalam menyikapi hidupnya. Kami menggunakan kata modernitas dan bukan
modernisasi mengikuti Berman. Menurutnya, modernitas merupakan “suatu bentuk
pengalaman” (Smart, 2000:28).
Rupanya
Ammatoa sebagai pemimpin adat juga ingin merasakan pengalaman itu. Terbukti dia
sudah mengenakan jas sebagai pasangan sarung hitamnya dalam menerima
tamu-tamunya. Dan Ammatoa tampak merasa nyaman-nyaman saja memakai jas yang
terbuat dari wol itu. Dia tidak merasa panas atau gerah. Hasil wawancara dengan istri Ammatoa dan
beberapa warga di sekitar rumah Ammato, diketahui bahwa anak-anak Ammatoa
bersekolah “tinggi” di Kota Makassar, bahkan seorang warga memberi tahu dengan
berbisik bahwa salah seorang anak Ammatoa “Sudah lulus dua kali” Rupanya salah
sorang anak Ammatoa sudah lulus S2 dari salah satu perguruan tinggi di Kota
Makassar. Dengan mengetahui bahwa Ammatoa mempunyai anak yang sudah S2 maka
fakta “keberadaan jas wol” Ammatoa sudah bisa dijelaskan.
Bentuk
lain modernitas yang dialami Ammatoa adalah terpampangnya tulisan Ammatoa di
atas pintu rumahnya. Papan nama itu adalah perilaku baru seorang Ammatoa yang
menimbulkan pertanyaan “untuk apa?” bukankah tanpa papan nama itu semua orang
di Kajang Dalam tahu dimana rumah Ammatoa? Ironisnya lagi, apakah ada warga
setempat yang bisa membacanya? Atau, apakah Ammatoa sendiri bisa membaca papan
namanya? Padahal Ammatoa sendiri pasti tahu bahwa semua warga kawasan adat
menganggap rumah Ammatoa keramat. Kekeramatan rumah Ammatoa ini kelihatan saat
seorang warga
ditanya tentang rumah Ammatoa mereka menjawabnya dengan berbisik. Tetapi,
bagaimana dengan papan nama itu? Kami jadi ingat lagi tentang pendapat
Horkheimer dan Adorno di awal minat mereka tentang teori kritis, bahwa “ketika
totalitas kultural dan ‘aparatus-aparatusnya’ menjembatani lebih jauh
tuntutan-tuntutan perilaku dari luar oleh masyarakat...” menyebabkan “...budaya
yang semata-mata muncul sebagai komponen fungsional bagi pengamanan dominasi”
(Honneth, 2000). Bagi kami, papan nama di rumah Ammatoa itu adalah simbol dari
dominasi. Dengan papan nama itu Ammatoa melakukan reifikasi terhadap dirinya
(Honneth, 2000). Dan dengan cara itu Ammatoa mengaktualisasikan dominasinya dan
keberadaannya kepada semua orang baik warga adat maupun orang luar yang datang
berkunjung (Foster, 1986).
Ada
banyak hal yang bisa diteliti lebih lanjut dari hasil rapid observation ini.
Selain yang telah disebut di atas, kami juga melihat overt behavior pada
masyarakat adat ini merupakan pengejawantahan dari pemahaman tentang bersatunya
mereka dengan alam, bersikap arif, tidak banyak bicara, dan bekerja. Di lain
pihak, setiap warga, seperti argumentasi Horkheimer, juga menyesuaikan diri dengan halus kepada
tuntutan-tuntutan perilaku baru. Mereka tidak hanya pasif menerima proses
modernitas tetapi juga aktif berpartisipasi sesuai dengan interpretasi mereka,
yang akhirnya ‘adat istiadat moral’ dan ‘gaya hidup’ berjalan dengan caranya masing-masing
(Honneth, 2000).
Adat
istiadat moral tetap dijalankan oleh warga saat berada di kawasan adat,
sedangkan saat keluar dari kawasan adat, mereka menjadi seperti manusia
lainnya. Beberapa warga akan keluar dari desa mereka dan pergi ke Kota Makassar
saat musim tanam atau musim panen sudah berlalu. Beberapa dari mereka ke Kota
Makasar untuk bekerja, yang lainnya karena menyusul suaminya yang bekerja
disana. Kebanyakan orang Kajang bekerja sebagai buruh di Kota Makassar karena
rendahnya tingkat pendidikan mereka (banyak yang tidak lulus SD), sehingga
tidak ada pilihan lain selain bekerja sebagai buruh. Setelah tinggal beberapa
lama di kota, gaya hidup mereka pun berubah. Mereka pulang ke desa sambil
membawa hand-phone yang digunakan hanya di dalam rumah. Kontras sekali
melihat hand-phone di suatu tempat yang tidak mempunyai aliran listrik.
Tetapi
itulah bagian dari perubahan. Perspektif kritis tentang ini adalah: bahwa
perubahan selalu ada di mana-mana sehingga dunia sosial berpotensi dapat
dibentuk ulang oleh tindakan sosial (Ritzer dan Smart, 2011). Hal itu dilakukan
oleh Ammatoa sebagai pemimpin adat. Tindakan-tindakannya akan membentuk kawasan
adat Ammatoa beberapa tahun ke depan sesuai dengan yang ada dalam persepsinya.
C.
Kesimpulan
Mengkaji
suku adat Kajang tidak bisa hanya dari satu sisi saja. Kita membutuhkan
berbagai sudut pandang untuk mendapatkan kajian yang lengkap tentang Kajang. Perlu
diketahui, banyaknya teori, baik yang tradisional maupun yang kontemporer,
rupanya hanya bisa digunakan sebagai penambah wawasan dalam mengkaji peristiwa
dan fenomena di Kajang Dalam. Hasil rapid observation inipun tidak “pas”
jika hanya dikaji dengan teori kritik atau teori tradisional atau teori yang
lain, karena fenomena ini terjadi di Indonesia. Kondisi kawasan adat Kajang
tidak sama dengan kondisi di tempat Marx lahir, atau di tempat Comte hidup.
Jadi, untuk sementara kami menyimpulkan bahwa perubahan perilaku di kawasan
adat Ammatoa merupakan reflleksi dari perpaduan pengetahuan yang dimiliki oleh
masing-masing individu, internalisasi Passang ri Kajang, dan serapan modernisme
kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar