Minggu, 26 Oktober 2014

Quo Vadis Kajang? Sebuah Telaah Kritis

Quo Vadis Kajang? Sebuah Telaah Kritis

A. Fokus dan Lokus Observasi
1. Fokus
Fokus pengamatan adalah masyarakat adat Ammatoa , yaitu suatu entitas sosial dalam kehidupan modern yang tetap mempertahankan ciri kehidupan tradisionalnya.
2. Lokus
Lokus observasi adalah Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Di Desa Tana Toa ini tinggal suku adat Kajang yaitu suku adat yang ada di Bulukumba dan sudah ada sejak jaman megalitikum. Kawasan adat ini dicirikan dengan berbagai atribut seperti pakaian, sarung dan penutup kepala yang serba hitam. Kawasan adat Kajang berada dalam wilayah administrasi Desa Tanatowa. Karena letaknya yang berada di Desa Tanatowa, praktis kawasan adat ini juga dikenal sebagai kawasan adat Tanatowa. Desa Tanatowa jaraknya dengan ibukota kecamatan Kajang kurang lebih 29 km, jarak ibukota Bulukumba lebih kurang 77 km dan dari Bulukumba ke Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar) sejauh 167 km. Berarti jarak dari Makassar ke Tanatowa sejauh 273 km, dapat ditempuh dengan menggunakan bus antar Kota atau angkutan Kota setempat.
Penduduk dan Batas Wilayah

Desa Tanatowa berbatasan dengan: 1) sebelah Utara Desa Sa Panang, 2) sebelah Timur Desa Batunilamung, 3) sebelah Selatan Desa Pattiroang, dan 4) sebelah Barat Teluk Bone. Perkembangan penduduk di Kecamatan Kajang relatif tinggi dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 5% pertahun. Di Kecamatan Kajang terdapat 19 Desa dengan jumlah penduduk sebanyak 45.183 jiwa, di Desa Tanatowa jumlah penduduknya sebesar 3.900 jiwa dengan rumpun keluarga 639 KK. khusus komunitas Ammatoa berjumlah 150 KK atau sekitar 500 jiwa (sumber: Bagian Ketiga Patuntung Sebagai Pandangan Hidup di Kajang, hal.71).
Masuk di kawasan adat Kajang harus melewati jalan sempit di samping sebuah pendopo yang dijadikan sebagai pintu masuk ke kawasan ini. Segala bentuk kendaraan tidak bisa digunakan di kawasan ini. Jalan yang ada adalah jalan setapak dengan lebar sekitar 1,5 meter yang dikeraskan dengan bebatuan. Tiga buah makam yang (katanya) masih baru kami lewati sebelum mencapai perkampungan yang letaknya tidak jauh dari situ.
Suku Kajang merupakan sub etnis Bugis/Makassar yang masih murni. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Makassar dialek Konjo. Masyarakat adat Kajang secara geografis terbagi atas Kajang Dalam (ilalang embayya) dan Kajang Luar (pantarang embayya). Orang-orang Kajang Dalam tersebar di beberapa desa antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah utara, Limba di sebelah timur, di sebelah Selatan berbatasan dengan Seppa, dan sebelah barat berbatasan dengan Doro. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa diwilayah Kecamatan Bulukumba diantaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe.
Suku Kajang menempati kawasan hutan seluas (710 ha terletak pada ketinggian 150-200 mdpl) diakui masyarakat sebagai kawasan lahan adat/ lahan adat. Kawasan ini terdiri dari Hutan Inti Adat (hutan keramat/ hutan larangan) seluas 331, 17 ha (berada di wilayah Desa Tanatowa) yang berfungsi sebagai hutan lindung dan konservasi, serta Hutan Produksi (hutan tebangan) seluas 384 ha. Secara umum luas kawasan hutan negara di Sulawesi Selatan khususnya Kabupaten Bulukumba sekitar 14.144 ha (Rustanto, 2010).
Karakteristik Masyarakat
            Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal yang modern, termasuk kegiatan ekonomi dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan pemerintahan Kabupaten Bulukumba dan dunia luar secara umum. Mereka hidup dengan lingkungan hutannya dan bersandar pada pandangan hidup dan adat yang mereka yakini.
Orang-orang yang hidup di kawasan adat ini berpakaian serba hitam. Bagi mereka warna hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan adat Ammatoa ini pakaian kita pun harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan, karena tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.
Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat suatu kawasan inti yang berada di sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Kawasan inti ini terlihat dari letak atau pola pemukiman yang menghadap ke arah Barat atau arah kiblat, yang masih menyesuaikan dengan adat dan tradisi mereka. Setiap bentuk rumah Suku Kajang selalu sama, mereka menganggap persamaan itu sebagai simbol kebersamaan. Bentuk rumah secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masyarakat Bugis-Makassar, yaitu rumah tinggi (panggung) dengan bahan dari kekayaan hutan disekitarnya.
Tana Toa lahir karena ketidakteraturan yang terjadi di masa lampau. Seluruh kehidupan di dunia termasuk manusia pada waktu itu masih dalam keadaan liar. Keadaan ini mendorong sejumlah orang untuk membentuk sebuah komunitas berikut segala aturan yang ada di dalamnya yang sampai saat ini masih berusaha dipertahankan oleh masyarakatnya.
A.    Metode Telaah/Penalaran
Metode telaah/penalaran yang digunakan dalam kajian ini adalah gabungan antara penalaran induktif dan penalaran deduktif. Hal ini dilakukan mengingat obsevasi yang dilakukan adalah rapid observation karena keterbatasan waktu dan biaya. Diharapkan dari kombinasi tersebut akan menghasilkan proposisi-proposisi yang bersifat komprehensif dan mendalam.
Karena data yang dikumpulkan dalam rapid observation ini adalah data kualitatif maka analisis awal sudah langsung dilakukan sejalan dengan pengumpulan data. Dalam rapid observation ini pengamatan dilakukan pada beberapa hal, yaitu:
  1. Overt Behavior.
Sebagai masyarakat dengan mata pencaharian utama berkebun dan bertani, orang Kajang Dalam mempunyai pembagian kerja yang tegas antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bekerja di kebun dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan di luar rumah, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga dan semua pekerjaan di sekitar rumah. Tetapi pembagian kerja ini tidak berlaku mutlak karena perempuan juga bisa membantu pekerjaan di kebun atau sawah.
Dalam observasi ini ditemukan pula beberapa perempuan Kajang menggunakan waktu luangnya dengan menenun sarung. Kegiatan menenun sarung ini dilakukan sambil menjaga anak-anak bermain. Karena dilakukan saat luang, menenun sarung bisa memakan waktu sampai dua minggu. Hampir di setiap rumah ada alat menenun, tetapi tidak semua anggota keluarga dalam rumah itu pandai menenun.







Lain lagi dengan anak-anak. Anak-anak yang berusia balita bermain dengan teman-teman sebayanya dan berkumpul di salah satu rumah. Saat ibu yang punya rumah menenun, anak-anak bermain di sekitar itu. Ada yang bermain lari-lari, ada yang bermain-main air (rupanya anak si ibu penenun) dengan cara berendam di dalam baskom besar, sambil sesekali mencipratkan air ke temannya yang menunggu di luar baskom. Beberapa anak bermain dengan kincir angin dari plastik berwarna warni, yang akan berputar jika kincirnya kena angin, ditiup atau dibawa berlari. Tetapi rupanya ada pembagian kerja khusus pada keluarga Ammatoa.
Ammatoa tidak melakukan pekerjaan kebun atau sawah secara  langsung. Dia hanya menerima hasil kebun atau sawah dari warganya yang dengan sukarela membagi hasil kebun atau sawah mereka kepada Ammatoa. Hal itu dilakukan sebagai bentuk rasa hormat dan pengabdian sesuai dengan Passang ri Kajang, suatu pedoman hidup yang memang menjadi pegangan masyarakat Kajang sehari-hari. Istri Ammatoa tetap dengan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi rumah. Kedudukan sebagai istri belum jelas terlihat saat observasi dilakukan, hanya bisa dilihat saat Ammatoa menerima kami (tamu), istrinya tetap sibuk memasak (seperti diketahui letak dapur tepat di depan pintu masuk) dan tidak terganggu dengan kegiatan yang dilakukan suaminya dan adanya banyak tamu di rumahnya.
  1. Pola Interrelasi Jaringan-Jaringan Sosial
Pola kerja sama tampak di antara anggota keluarga. Kerja sama ini dilakukan saat kerja di kebun atau sawah. Ibu dan anak-anak biasanya membantu pekerjaan suami dan ayah mereka saat musim tanam dan musim panen. Kompetisi dan konflik cenderung tidak ada. Bisa dikatakan pola perilaku dan hubungan antar-warga selalu dihubungkan dengan Passang ri Kajang, karena mereka bertindak sesuai dengan aturan-aturan atau ajaran-ajaran yang tertuang pada Pasang ri Kajang, yaitu pesan-pesan luhur seperti ajaran tentang keharusan ingat kepada Tuhan, harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal, serta mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya.
Secara harafiah Pasang berarti pesan. Tetapi bagi masyarakat Kajang, Pasang tidak hanya sekedar pesan, tetapi merupakan “wahyu” yang harus dilakukan. Pelanggaran terhadap Pasang akan langsung dikenai sanksi yang berlaku saat hidup di dunia maupun setelah meninggal. Pasang mengajarkan bahwa dunia yang diciptakan Turie’ A’ra’na beserta isinya haruslah dijaga keseimbangannya, terutama hutan. Karenanya hutan harus dipelihara dengan baik dan mendapat perlakuan khusus bagi penghuninya serta tidak boleh dirusak. Ada pesan leluhur yang terus mereka pegang hingga saat ini, yaitu “Jangan kau tambah hutan tapi juga jangan kau kurangi”.
Karena itu merawat hutan merupakan suatu kewajiban. Mereka percaya hutan memiliki kekuatan gaib yang dapat mensejahterakan dan sekaligus mendatangkan bencana jika tidak dijaga kelestariannya. Hutan memiliki kekuatan supranatural yang tidak dapat dihadapi manusia. Untuk itu mereka senantiasa mengadakan upacara-upacara di hutan agar terhindar dari mara bahaya. Dalam mengelola hutan pun mereka membagi dalam zona-zona tertentu. Seperti Rabbang Seppang (batas sempit) adalah zona lindung. Zona tersebut tidak boleh diganggu bahkan tidak boleh masuk sembarangan dalam kawasan itu. Kemudian Rabbang Laura (batas luas) adalah zona wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari misalnya untuk wilayah perkampungan, pertanian, perkebunan, dan sebagai lokasi penggembalaan ternak.


3.      Alat-Alat Produksi/Kehidupan yang Digunakan
Dalam perjalanan dari batas Kajang Luar dengan Kajang Dalam ke Desa Tana Toa sudah banyak pengaruh kebudayaan modern yang kelihatan. Teknologi dari “luar” Kajang Dalam sudah banyak digunakan oleh masyarakat di kawasan adat ini.
Di Pintu masuk ke kawasan adat terlihat beberapa sepeda motor yang diparkir berjejer tepat di pintu masuk. Awalnya kami mengira ada beberapa pengunjung lain di kawasan adat ini selain kami, nanti baru diketahui bahwa motor-motor itu adalah milik sanak keluarga mereka. Hal lain yang sempat kami lihat adalah pembuatan jembatan kayu yang dipasang tidak hanya menggunakan pasak tetapi sudah memakai kayu. Lebih jauh kami berjalan, kami juga melihat bahwa kawasan hutan adat dibatasi bukan menggunakan pagar tanaman atau kayu-kayu hutan sebagaimana seharusnya, tetapi sudah menggunakan kawat berduri.
Teknologi juga sudah digunakan dalam pembuatan makam. Jika dibandingkan dengan makam lama yang nisannya menggunakan batu-batu andesit dengan struktur alami, maka nisan pada makam yang baru sudah menggunakan batu karst yang dibuat menyerupai nisan lama. Teknik pemotongan batu dilakukan dengan menggunakan mesin. Pada nisan yang baru juga diukir nama si mati. Sedangkan pada nisan yang lama tidak tertera nama orang yang dikubur disitu.
Pengaruh lain yang terlihat di kawasan adat ini adalah pada pakaian. Beberapa warga laki-laki terlihat menggunakan celana boxer warna hitam bergaris putih di sampingnya. Pakaian-pakaian yang dijemur sudah berwarna-warni. Memang masih terlihat warga yang menggunakan baju hitam-hitam tetapi kebanyakan orang-orang tua.
Pengaruh modern semakin banyak terlihat saat memasuki rumah. Di rumah Ammatoa sendiri sudah digunakan panci dan wajan dari alumunium untuk memasak. Ada termos untuk air panas. Selain barang-barang keperluan dapur, barang-barang untuk makan dan keperluan kamar mandi seperti piring, gelas, ember, dan gayung modern juga sudah digunakan. Dikatakan modern karena barang-barang itu terbuat dari plastik dan aluminium. Bahkan mereka juga makan menggunakan sendok dan garpu yang terbuat dari stainless steel.
Bentuk rumah juga sudah mengalami perubahan. Jika dulu dapur, tempat kencing, tempat makan dan ruang tamu tidak dibatasi dengan jelas, maka saat ini sudah ada warga yang menutup dapur sekaligus tempat kencing dengan dinding bambu dan menggunakan gordijn sebagai pintunya.
Pada kehidupan sosial lain, bentuk modernisasi terlihat pada pemakaian handphone, pakaian yang berwarna-warni (kecuali warna merah dan merah jambu), kesempatan sekolah di luar kawasan adat, dan keinginan untuk bekerja dan mendapat penghasilan yang lebih mudah dan lebih banyak di luar kota, dibandingkan jika hanya membantu orang tua bekerja di kebun.
Selain itu, dengan kemajuan jaman, kerajinan tenun sarung dibuat dengan benang hitam dan biru tua yang dibeli di Kota Makassar. Mereka tidak lagi memberi warna benang untuk sarung adat secara alami seperti yang dilakukan pendahulu mereka beberapa tahun yang lalu. Bahkan mereka sudah bisa menetapkan harga pada sarung hasil tenunan mereka, tanpa ragu harga sarung ditetapkan sebesar Rp700,000. Dari sini dapat disimpulkan bahwa uang sudah mempunyai arti yang penting dalam kehidupan mereka.
4.      Potensi Pemberdayaan
Meskipun hanya melakukan rapid oberevation tetapi kami melihat banyak potensi yang bisa dikembangkan di kemudian hari. Pengembangan potensi ini bisa dimulai dengan internalisasi Passang ri Kajang kepada generasi penerus. Sebagai indigenuos local, Passang ri Kajang adalah aset yang harus dilestarikan demi masa depan adat Ammatoa khususnya dan orang Kajang pada umumnya.
Masyarakat adat Kajang Dalam adalah jenis masyarakat yang homogen, yang mempunyai ikatan utama yaitu kepercayaan, cita-cita dan komitmen moral bersama, maka¸ meminjam istilah yang dikembangkan Durkheim, solidaritas yang berkembang adalah solidaritas mekanik. Solidaritas ini berkembang karena warga Ammatoa selalu sama-sama terlibat dalam suatu aktivitas yang sama yang sifatnya religius dan memiliki tanggung jawab yang sama (Ritzer, 2011:91-92). Hal itu terpusat pada Passang ri Kajang. Kesadaran kolektif di kawasan adat ini bisa sangat efektif dalam pemberdayaan sumber daya manusia dan sumber daya alam, jika: 1) tetap ada sejumlah orang yang terikat bersama dalam nilai dan norma yang sama, 2) jika setiap warga adat Ammatoa menyadari kebersamaannya, 3) jika mereka mengetahui dan mengerti nilai dan norma yang mengikat mereka, dan 4) jika mereka tahu dan yakin tujuan mereka. Giddens menyebutnya empat dimensi kesadaran kolektif masyarakat yang terbagi atas: volume, kekuatan, kejelasan, dan isi (Ritzer, 2011:92). Tetapi kesadaran kolektif mereka bisa juga mengalami eliminasi jika terjadi perubahan sosial karena pengaruh modernisasi.
Potensi lain adalah dikembangkannya kerajinan ATBM karena kerajinan sarung dari kawasan adat ini mempunyai ciri sendiri yang berbeda dengan motif sarung dari daerah lain, dan pantas disejajarkan dengan kerjinan sarung dari Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar yang sudah lebih dulu populer. ATBM di kawasan adat ini dikerjakan dengan cua cara, yaitu dengan cara berdiri dan dengan duduk. Mengerjakan pembuatan sarung dengan cara berdiri dilakukan di luar rumah, sedangkan yang lain dilakukan di dalam rumah.
5.      Peristiwa yang Menggambarkan Adanya Perubahan Sosial.
Dengan masuknya kawasan adat pada wilayah NKRI otomatis ada dua model kepemimpinan di kawasan adat, yaitu kepemimpinan adat yang dikepalai oleh Ammatoa dan kepemimpinan struktural pemerintah RI yang dipegang oleh kepala desa. Dua model kepemimpinan ini sudah pasti membawa banyak perubahan dalam kehidupan sosial di kawasan adat. Beberapa hal yang bersifat negatif maupun positif bisa terjadi dengan kondisi seperti itu karena setiap perubahan pasti membawa dampaknya masing-masing.
6.      Jaringan-Jaringan Institusi Yang Terlibat
Institusi yang berkembang di masyarakat Kajang adalah institusi yang berhubungan dengan adat (bersifat kultural) dan institusi pemerintah (struktural). Institusi kultural berjalan di bawah naungan ada’ lima. Institusi yang bersifat internal ini berhubungan langsung dengan keseharian masyarakat Kajang Dalam. Biasanya mengurusi pelanggaran-pelanggaran adat yang berhubungan dengan Passang ri Kajang.
Sedangkan institusi struktural adalah institusi di bawah pemerintah, yaitu kepala desa, camat, dan bupati. Seperti diketahui, kawasan adat berada di Kajang Dalam yang terdiri dari dua desa yaitu Desa Tana Toa dan desa Tambang. Kawasan adatnya sendiri berada di Desa Tana Toa. Kedua desa ini berada dalam wilayah Kecamatan Kajang.
7.      Kelanggengan Dominasi.
Dari uraian di atas bisa diambil kesimpulan bahwa ada dua struktur dominasi yang berlaku di kawasa adat Ammatoa. Struktur dominasi itu meliputi dominasi ada’lima dan dominasi struktural pemerintah. Dominasi adat diaktualisasikan dengan simbol-simbol yang sudah dipahami oleh warganya, seperti rumah Ammatoa dianggap sebagai rumah keramat dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Semua hal yang berhubungan dengan Ammatoa adalah keramat. Dominasi adat seperti ini oleh Bourdieu disebut sebagai symbolic domination, yaitu:  actualized, reproduced, and furthered through a set of practises, not given a fixed or timeless system of differences (Foster, 1986:105).
Sedangkan dominasi struktural meliputi kepala desa dengan segala aparatnya. Dengan terjadinya dua dominasi itu maka tidak mengherankan jika kadang-kadang terjadi benturan kepentingan di antara institusi itu.
Tetapi tampaknya Ammatoa sebagai pemimpin adat serta karena kearifannya mampu menerima akibat dari benturan itu, hal itu terlihat dari kondisi Kajang Dalam saat ini salah satunya adalah tidak terlalu ketat memberlakukan warganya untuk mengenakan pakaian serba hitam.




8.      Infrastruktur Konsumerisme
Tidak bisa dihindari bahwa pengaruh modernisasi tidak bisa dihambat oleh suku bangsa mana pun, termasuk masyarakat adat Ammatoa. Dibangunnya fasilitas-fasilitas di sekitar kawasan itu, seperti jalan akses untuk masuk dan keluar ke kawasan adat yang sudah diaspal bagus, membuat pengaruh itu semakin cepat masuk.
Bangunan sekolah dasar juga sudah ada tepat di depan pintu masuk kawasan adat. Adanya bangunan sekolah di dekat situ membuka peluang anak-anak dari Kajang Dalam untuk bersekolah. Tetapi peluang ini tidak dibarengi dengan support dari orang tua atau yang lainnya dengan alasan keterbatasan biaya.

B.                 Pisau Analisis: Anti-Positivistik
Terjadi pergeseran budaya dalam komunitas ini, yang jika dibiarkan, diperkirakan dalam kurun beberapa tahun ke depan sudah terkikis karena proses modernisasi. Tetapi, jika dipikirkan secara logis sebenarnya hal itu adalah hak mereka untuk berubah. Bahkan jika tidak mengikuti perkembangan yang terjadi saat ini warga adat Ammatoa akan sangat ketinggalan dalam hal teknologi dan komunikasi.
Keberadaan dua macam struktur dominasi di kawasan adat berpengaruh pada kepemimpinan mereka. Terjadi ambiguitas pada masing-masing pemimpin. Di satu sisi ingin mempertahankan struktur dominasinya, di sisi lain ada hal-hal yang harus dipenuhi baik yang bersifat pribadi maupun bersifat umum.
Pada dominasi struktural, ambiguitas yang terjadi pada masing-masing kepala desa adalah kenyataan bahwa selain jadi kepala desa mereka juga pemangku adat yang masuk dalam ada’lima. Tuntutan atas kesadaran kolektif beradu dengan kepentingan pemerintah (atau pribadi). Sedangkan pada dominasi yang bersifat kultural juga terjadi ambiguitas pada Ammatoa. Di satu sisi harus mempertahankan nilai dan norma adat di pihak lain modernisasi sudah mulai memasuki dan mempengaruhi nilai dan norma itu. Ambigutias tidak akan terjadi pada masing-masing pemimpin jika jabatan kepala desa dan camat dijalankan oleh orang yang bukan pemangku adat Ammatoa..
Penerimaan pengaruh modern di kawasan adat seperti dilakukan dengan setengah-setengah. Antara “ya” dan “tidak”. Sikap Ammatoa sendiri tidak menunjukkan keengganannya menerima modernitas karena dia memberi kelonggaran-kelonggaran pada warganya saat ini dalam menyikapi hidupnya. Kami menggunakan kata modernitas dan bukan modernisasi mengikuti Berman. Menurutnya, modernitas merupakan “suatu bentuk pengalaman” (Smart, 2000:28).
Rupanya Ammatoa sebagai pemimpin adat juga ingin merasakan pengalaman itu. Terbukti dia sudah mengenakan jas sebagai pasangan sarung hitamnya dalam menerima tamu-tamunya. Dan Ammatoa tampak merasa nyaman-nyaman saja memakai jas yang terbuat dari wol itu. Dia tidak merasa panas atau gerah.  Hasil wawancara dengan istri Ammatoa dan beberapa warga di sekitar rumah Ammato, diketahui bahwa anak-anak Ammatoa bersekolah “tinggi” di Kota Makassar, bahkan seorang warga memberi tahu dengan berbisik bahwa salah seorang anak Ammatoa “Sudah lulus dua kali” Rupanya salah sorang anak Ammatoa sudah lulus S2 dari salah satu perguruan tinggi di Kota Makassar. Dengan mengetahui bahwa Ammatoa mempunyai anak yang sudah S2 maka fakta “keberadaan jas wol” Ammatoa sudah bisa dijelaskan.
Bentuk lain modernitas yang dialami Ammatoa adalah terpampangnya tulisan Ammatoa di atas pintu rumahnya. Papan nama itu adalah perilaku baru seorang Ammatoa yang menimbulkan pertanyaan “untuk apa?” bukankah tanpa papan nama itu semua orang di Kajang Dalam tahu dimana rumah Ammatoa? Ironisnya lagi, apakah ada warga setempat yang bisa membacanya? Atau, apakah Ammatoa sendiri bisa membaca papan namanya? Padahal Ammatoa sendiri pasti tahu bahwa semua warga kawasan adat menganggap rumah Ammatoa keramat. Kekeramatan rumah Ammatoa ini kelihatan saat seorang warga ditanya tentang rumah Ammatoa mereka menjawabnya dengan berbisik. Tetapi, bagaimana dengan papan nama itu? Kami jadi ingat lagi tentang pendapat Horkheimer dan Adorno di awal minat mereka tentang teori kritis, bahwa “ketika totalitas kultural dan ‘aparatus-aparatusnya’ menjembatani lebih jauh tuntutan-tuntutan perilaku dari luar oleh masyarakat...” menyebabkan “...budaya yang semata-mata muncul sebagai komponen fungsional bagi pengamanan dominasi” (Honneth, 2000). Bagi kami, papan nama di rumah Ammatoa itu adalah simbol dari dominasi. Dengan papan nama itu Ammatoa melakukan reifikasi terhadap dirinya (Honneth, 2000). Dan dengan cara itu Ammatoa mengaktualisasikan dominasinya dan keberadaannya kepada semua orang baik warga adat maupun orang luar yang datang berkunjung (Foster, 1986).
Ada banyak hal yang bisa diteliti lebih lanjut dari hasil rapid observation ini. Selain yang telah disebut di atas, kami juga melihat overt behavior pada masyarakat adat ini merupakan pengejawantahan dari pemahaman tentang bersatunya mereka dengan alam, bersikap arif, tidak banyak bicara, dan bekerja. Di lain pihak, setiap warga, seperti argumentasi Horkheimer,  juga menyesuaikan diri dengan halus kepada tuntutan-tuntutan perilaku baru. Mereka tidak hanya pasif menerima proses modernitas tetapi juga aktif berpartisipasi sesuai dengan interpretasi mereka, yang akhirnya ‘adat istiadat moral’ dan ‘gaya hidup’ berjalan dengan caranya masing-masing (Honneth, 2000).
Adat istiadat moral tetap dijalankan oleh warga saat berada di kawasan adat, sedangkan saat keluar dari kawasan adat, mereka menjadi seperti manusia lainnya. Beberapa warga akan keluar dari desa mereka dan pergi ke Kota Makassar saat musim tanam atau musim panen sudah berlalu. Beberapa dari mereka ke Kota Makasar untuk bekerja, yang lainnya karena menyusul suaminya yang bekerja disana. Kebanyakan orang Kajang bekerja sebagai buruh di Kota Makassar karena rendahnya tingkat pendidikan mereka (banyak yang tidak lulus SD), sehingga tidak ada pilihan lain selain bekerja sebagai buruh. Setelah tinggal beberapa lama di kota, gaya hidup mereka pun berubah. Mereka pulang ke desa sambil membawa hand-phone yang digunakan hanya di dalam rumah. Kontras sekali melihat hand-phone di suatu tempat yang tidak mempunyai aliran listrik.
Tetapi itulah bagian dari perubahan. Perspektif kritis tentang ini adalah: bahwa perubahan selalu ada di mana-mana sehingga dunia sosial berpotensi dapat dibentuk ulang oleh tindakan sosial (Ritzer dan Smart, 2011). Hal itu dilakukan oleh Ammatoa sebagai pemimpin adat. Tindakan-tindakannya akan membentuk kawasan adat Ammatoa beberapa tahun ke depan sesuai dengan yang ada dalam persepsinya.
C.                               Kesimpulan
Mengkaji suku adat Kajang tidak bisa hanya dari satu sisi saja. Kita membutuhkan berbagai sudut pandang untuk mendapatkan kajian yang lengkap tentang Kajang. Perlu diketahui, banyaknya teori, baik yang tradisional maupun yang kontemporer, rupanya hanya bisa digunakan sebagai penambah wawasan dalam mengkaji peristiwa dan fenomena di Kajang Dalam. Hasil rapid observation inipun tidak “pas” jika hanya dikaji dengan teori kritik atau teori tradisional atau teori yang lain, karena fenomena ini terjadi di Indonesia. Kondisi kawasan adat Kajang tidak sama dengan kondisi di tempat Marx lahir, atau di tempat Comte hidup. Jadi, untuk sementara kami menyimpulkan bahwa perubahan perilaku di kawasan adat Ammatoa merupakan reflleksi dari perpaduan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu, internalisasi Passang ri Kajang, dan serapan modernisme kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ESTABLISHMENT OF INDIVIDUAL CONSONANCE IN MAKASSAR MUSLIM COMMUNITIES ON CONDOMS THROUGH LOCAL FUNCTION INSTITUTION Adam Badwi, Munadh...