Minggu, 26 Oktober 2014

GAGASAN PEMBANGUNAN YANG BERKEADILAN SOSIAL (Studi Pada Pengentasan Kemiskinan Pedesaan di Indonesia)

GAGASAN PEMBANGUNAN YANG BERKEADILAN SOSIAL
(Studi Pada Pengentasan Kemiskinan Pedesaan di Indonesia)

Fokus Kajian:
“ Bagaimana struktur dan interaksi sosial masyarakat berhubungan secara timbal balik dengan kebijakan & proses pembangunan”.

Struktur Sosial Masyarakat
Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu ketaraturan perilaku sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat (Soekanto, 1983). Sementara (Shanin, 1971) berpendapat bahwa struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Namun demikian menurut Shanin, tidak ada konsep lapisan sosial yang dapat digunakan untuk menjelaskan secara tepat kenyataan sosial kelompok petani tertentu, sehingga upaya untuk mengungkap struktur kelas masyarakat merupakan masalah yang sulit.
Kesulitan ini ditemukan oleh (Beteille, 1977: 119-125) ketika mencoba merumuskan definisi formal tentang kelas dengan cara membandingkan antara berbagai model penafsiran struktur kelas yang ada dengan kenyataan sosial yang ditemukan dalam masyarakat agraris di India. Beteille tidak menemukan satupun definisi formal tentang kelas yang sepenuhnya memuaskan dilihat dari kemampuan untuk menjelaskan gejala sosial tidak hanya secara logis dan konsisten tetapi juga sekaligus menunjukkan secara tajam arti sosiologis kategori-kategori kelas yang dihasilkan oleh definisi-definisi tersebut.
Lebih lanjut Beteille menjelaskan bahwa pembagian kelas masyarakat pada lazimnya mengikuti dua macam pendekatan formal, yakni pendekatan dikotomi dan pendekatan gradasi. Pendekatan dikotomi mengandalkan adanya hubungan ketergantungan antara dua kategori kelas dalam kaitannya dengan kepemilikan, pengendalian, dan penggunaan tanah, seperti hubungan antara pemiliki tanah dengan buruh tani. Pendekatan dikotomi memiliki keunggulan dalam hal menunjukkan arti sosiologis dari hubungan-hubungan anntara berbagai kategori kelas yang ditampilkan, namun memiliki kelemahan dalam hal menjelaskan konsistensi hubungan antara berbagai kategori tersebut. Sebagai contoh hubungan ketergantungan antara dua kategori kelas dalam kaitannya dengan pemilikan dan penggunaan tanah, seperti hubungan antara pemilik tanah dengan buruh tani. Model pembagian ini tidak mampu menjelaskan bagaimana sifat hubungan antara kategori-kategori tersebut bila dihadapkan pada gejala-gejala banyaknya pemilik tanah sempit yang relatif terbebas dari ketergantungan pada pemilik tanah luas dan tidak memperkerjakan atau mengupah buruh tani.
Berbicara mengenai struktur sosial dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran Marx dan Weber, mengenai dimensi-dimensi stratifikasi sosial. Tesis klasik Marx mengenai sistem stratifikasi sosial sangat berkaitan erat dengan adanya ketidaksamaan kelas yang disebabkan oleh perbedaan dalam kehidupan perekonomian, utamanya yang menyangkut mode produksi. Oleh karena itu pandangan Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi yang menentukan kedudukan kelas (Charon, 1980: 109-114).
Uraian di atas mengandaikan setiap masyarakat memiliki posisi-posisi dalam struktur sosialnya, posisi setiap orang dalam struktur social mengikuti pendapat Marx akan ditentukan oleh aksebilitas pada faktor-faktor ekonomi. Selanjutnya dalam konteks sosiologi disebut stratifikasi social. Pertanyaan mendasarnya dalam pembahasan penanganan kemiskinan, adalah apakah kemiskinan memang ada dan harus ada dalam masyarakat? Seandainya memang kemiskinan harus terjadi oleh sebab posisi dalam struktur maka bagaimana peran mereka dalam membentuk struktur tersebut? Artinya meskipun terdapat sekelompok masyarakat miskin dalam sebuah struktur, tetap akan peran dalam redistribusi sumber-sumber ekonomi.

Perspektif Kemiskinan di Indonesia
Kedudukan manusia dalam proses pembangunan terutama pembangunan di pedesaan adalah sumberdaya yang diunggulkan, mengingat jumlah penduduk desa yang potensial. Wilayah pedesaan umumnya ditandai oleh karakteristik penduduk yang berpendapatan rendah, produktivitas rendah, tingkat pendidikan rendah, kesehatan dan gisi relative kurang ditunjang oleh tingkat kesejahteraan yang rendah pula. Keadaan inilah yang menjadi sasaran pembangunan. Karena kehidupan mereka perlu ditngkatkan, utamanya untuk mengatasi kemiskinan masyarakat desa tertinggal. Pengentasan kemiskinan merupakan kegiatan multidimensional. Tidak hanya terkait dengan sasaran bidang pendidikan, tetapi juga sasaran pemenuhan kebutuhan dasar manusia (human basic need) yang harus ditangani secara terpadu. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia tidak lain adalah kesempatan memperoleh kesehatan, gizi, penghasilan yang cukup, kesempatan memperoleh pendidikan, dan kehidupan keluarga sejahtera.
Kemiskinan biasanya diartikan sebagai situasi yang tidak memungkinkan terpenuhinya kebutuhan pokok dengan layak. Sifat-sifat khusus bangsa, masyarakat dan bahkan etnis diperhitungkan dalam mendefinikan sifat dasar, komposisi dan jumlah kebutuhan pokok yang bersangkutan. Tetapi dalam rangka memanfaatkan konsep tersebut dalam menentukan garis kemiskinan, para ilmuwan telah mempergunakan norma-norma biologi yang biasanya diungkapkan dalam jumlah makanan yang dikonsumsi. Kendati adanya keberatan utama terhadap metodologinya (variasi perorangan akan kebutuhan bahan makanan; penilaian untuk masukan, tapi tidak untuk keluaran; pengumpulan masalah, dan lain-lain), tetapi definisi garis kemiskinan yang didasarkan pada pendapatan yang diperlukan untuk membeli sejumlah kebutuhan pokok minimum, merupakan prosedur yang sudah teruji dengan landasan cukup pragmatis sehingga dapat diselaraskan dengan data yang dikumpulkan pada tingkat makroekonomi (Gsänger, 1988).
Lebih lanjut Gsänger menyampaikan bahwa; penilaian dimensi garis kemiskinan di kawasan, yaitu perhitungan kualitatif taraf dan sifat kemiskinan, dilaksanakan berdasarkan data yang dikumpulkan dari hasil penelitian rumah tangga nasional. Definisi norma-norma gizi dilakukan berdasarkan rekomendasi Departemen Kesehatan dan FAO. Jumlah yang dianjurkan dipertimbangkan berdasarkan harga rata-rata yang sedang berlaku dipedesaan Jawa.
Emil Salim (1976) dalam Supriyatna (1997) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakteristik penduduk miskin tersebut adalah:
1.  Tidak memiliki factor produksi sendiri
2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri
3.  Tingkat pendidikan pada umumnya rendah
4.  Banyak di antara mereka yang tidak mempunyai fasilitas
5.  Di antara mereka berusia relative muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.
Kelompok penduduk miskin yang berada di masyarakat pedesaan dan perkotaan, umumnya berprofesi sebagai buruh tani, petani gurem, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis (gepeng), dan pengangguran (Supriyatna, 1997). Kelompok ini akan menimbulkan problema yang terus berlanjut bagi kemiskinan cultural dan structural, bila tidak ditangani secara serisus, terutama untuk generasi berikutnya.
Pada umumnya, penduduk yang tergolong miskin adalah golongan residual yakni kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh berbagai kebijakan Pemerintah yang terkonsentrasikan secara khusus, seperti melalui IDT. Namun secara umum sudah melalui PKT, program BIMAS, Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan, NKKBS, KUD, PKK, PNPM di desa dsb. Golongan ini sulit disentuh, karena kualitas sumberdaya yang rendah sehingga kurang memanfaatkan fasilitas, termasuk faktor-faktor produksi. Mereka juga kurang memiliki kemampuan, tingkat pendidikan yang rendah, pelatihan yang sangat minimal, termasuk memanfaatkan pemberian bantuan bagi kebutuhan dasar manusia, dan perlindungan hukum atau perundang-undangan yang kurang memihak mereka.

Kemiskinan Sebuah Realitas Sosial ?
Kemiskinan menjadi sebuah kenisyaan dalam sebuah realitas sosial. Masyarakat secara umum mengambil sikap semacam itu, atau kemiskinan memang suatu “kewajaran’ yang sudah pasti tentu ada. Pemaknaan semacam ini akan membatasi wawasan pemikiran kita pada suatu keadaan yang pasti dan sudah barang tentu terjadi dalam kondisi kehidupan. Kemiskinan bukan suatu problema yang harus dipikirkan dan diselesaikan karena hal itu dalam batas kewajaran.
Namun suatu saat orang miskin yang kita lihat merayakan pesta perkawinan anaknya, mengundang tetangga dan teman-temannya. Akan tetapi suatu hari kita akan melihat rumah orang miskin tadi digedor-gedor orang yang menagih hutang. Dua “realitas” yang tadi kita lihat, mulai menyangsikan sebuah kata “kewajaran”. Kita akan berfikir; mencari sebab musababnya atau mungkin kaitan-kaitannya dengan hal-hal lain.
Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sederhana, tidak seperti bertanya pada orang di jalan atau dari data. Kita harus menemukenali pribadi si miskin, bertanya dan mendapat jawaban bukan hanya itu apabila kita ingin sungguh mau memahami (verstehen) realitas yang disebut dengan kata kemiskinan itu, kita tidak hanya sekedar meneropong dari luar, meskipun pada tahap tertentu kita harus meneropong dari luar untuk mengetahui sesuatu. Misalnya ikut dalam berbagai harapan, perasaan, dan perjuangan yang dilakukan si miskin. Ringkasnya, memahami kemiskinan melalui proses karena kemiskinan bukan tampak sebagai barang yang berdiri di luar kita, melainkan melekat pada diri manusia (Hardiman, 2002).
            Hasil peneropongan kita dari luar tentu sangat bergunan, melalui itu kita akan menbandingkan, mencari kaitan, mencari sebab, menelusuri sejarah, dan seterusnya. Misalnya kita akan menemukan struktur-struktur yang menyebabkan mengapa orang tersebut miskin, mengkin struktur social, politis, ataupun budaya, sehingga mendapatkan sebuah analisis empiris tentang realitas tersebut.
Pemahaman kita dari dalam mengungkap lebih banyak lagi, misalnya kita akan menemukan kompleks perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, atau pikiran-pikran yang berkaitan dengan kemiskinan tersebut. Singkatnya, kemiskinan bukan hanya soal material yang obyektif, melainkan menembus penghayatan batin dan kesadaran si miskin. Kita akan menemukan struktur-struktur dalam dari kemiskinan tersebut.
Peran Sosiologi dalam Penanganan Kemiskinan di Indonesia
Pada dasarnya etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran obyektif atau mencari realisme, yaitu suatu istilah yang salah satu artinya menunjuk pada suatu pandangan obyektif tentang realitas (Gunnar Myrdal, 1981 dalam Santoso dan Santoso, 2003). Taraf obyektivitas ilmu-ilmu social dalam hal ini adalah memandang kenyataan sebagaimana adanya (das sein) dengan menggunakan metodologi serta teori social berdasar realitas obyektif yang dijadikan lapangan penyelidikan. Lebih khusus lagi adalah bagagimana ilmu social dapat membebaskan diri dari: pertama: warisan peninggalan yang kuat dari penulis-penulis sebelumnya dalam bidang ilmiah yang digarap yang kadang kala mengandung orientasi normative dan teologis serta berlandaskan filasafat moral metafisika tentang hukum alam serta utilarianisme yang menjadi sumber terbentuknya teori social.
Melalui upaya pembebasan diri dari segala pretense atau kepentingan sosial untuk menghasilkan pengetahun yang obyektif secara apa adanya, sehingga konsekuensi ilmu-ilmu social sebagai ilmu yang mempelajari manusia dengan segala gejala sosialnya yang selalu berubah-ubah dapat diterima sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu alam
Kedua; pengaruh-pengaruh seluruh lingkungan kebudayaan, social, ekonomi dan politik dari masyarakat tempat ilmu social itu ditumbuhkan (Gunnar Myrdal, 1981 dalam Santoso dan Santoso, 2003). Pembebasan ilmu-ilmu social dari pengaruh kehidupan social yang melingkupinya bukan dalam artian bahwa ilmu social bebas nilai dan kepentingan. Hal ini dikarenakan, menurut Soedjatmoko (1993) banyak ilmuwan social dalam menghadapi persoalan social masih terbatas lingkup berlakunya karena terikat pada kebudayaan tertentu, tetapi bagaimana ilmu-ilmu social membawa seperangkat kepentingan praktis ke dalam pemahaman persoalan social secara lebih obyektif.
Persoalan kemiskinan, dilihat dari perspektif ilmu sosial sangatlah kompleks, melibatkan beragam struktur-struktur yang saling berkaitan dan membentuk sebuah realitas yang disebut kemiskinan. Ilmu sosial sebagai ilmu histories-hermeneutis menyoroti bidang-bidang intersubyektif yang selalu berubah-ubah, karena terjadi dalam gejala sosial bukanlah fakta mati melainkan pendapat manusia atas gejala tersebut. Sehingga obyek dalam gejala sosial itupun butuh penelaahan disesuaiakan dengan konteks interaksi yang dinamis. Dalam penelaahan konteks kemiskinan, ilmu sosial tidak hanya menjelaskan fakta kemiskinan masyarakat akan tetapi penjelasan penyebab dalam proses yang menyebabkan kemiskinan suatu masyarakat dalam hal; bagaimana struktur yang terbentuk, unsur-unsur struktur yang terlibat, disposisi-disposisi struktural dan kultural, dan persepsi-persepsi dalam suatu konteks yang dinamis serta obyektif.
Sesungguhnya telah banyak kalangan sosiolog maupun antropolog yang telah melakukan kajian-kajian sosiologis tentang kemiskinan di Indonesia. Sebut saja antropolog Koentjaraningrat. Dalam kepentingan pemerintahan atau kepentingan pembangunan pemilihan teori sosial yang berkenaan dengan kepentingan ideologis di Indonesia pada awalnya terdapat teori mentalitas di Jawa yang diperkenalkan oleh Koentjaraningrat. Teori mentalitas ini antara lain mengasumsikan bahwa kemiskinan atau hambatan yang terjadi dalam proses pembangunan nasional disebabkan oleh mental manusianya. Lingkungan sosial yang miskin dan tertindas dicari factor penyebabnya pada mentalitas kerja, sehingga masyarakat perlu diinjeksi prasyarat-prasyarat mental yang lebih mendorong supaya pembangunan lebih berhasil (Koentjaraningrat, 1974). Teori yang sampai saat ini berpengaruh dalam dinamika perkembangan ilmu-ilmu sosial ini kemdian dipertentangkan dengan teori strukturalisme yang membahas masyarakat dari struktural masyarakatnya bukan mentalitasnya (Santoso dan Santoso, 2003).

Keberadaan Undang-Undang (UU) tentang Desa dan Pengentasan Kemiskinan
Keberadaan undang-undang tentang Desa memberi harapan baru bagi warga yang tinggal di wilayah perdesaan. Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7).
Tak sekadar pengakuan dan penghargaan atas keberadaan desa, UU ini memberikan hak perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan. Tak berlebihan bila tujuan pengesahan UU Desa tidak sekadar untuk pengentasan warga dari kemiskinan, lebih dari itu UU Desa memberikan harapan akan munculnya kelas menengah baru di kawasan perdesaan.
Kemunculan kelas menengah baru di dunia perdesaan muncul akibat kucuran dana pembangunan yang cukup besar untuk desa. Bila dirata-rata, ada kucuran 1,4 Milyar untuk desa dari Pemerintah Daerah (APBD) dan Pemerintah Pusat (APBN). Warga desa bisa merencanakan pembangunan di wilayahnya tanpa harus risau alokasi pembiayaannya.
Adanya aliran dana ke desa akan menumbuhkan usaha-usaha produktif di wilayah desa. Di desa akan muncul sentra-sentra pertumbuhan ekonomi yang kuat. Angka urbanisasi akan menurun sehingga persoalan di kota juga berkurang. Lahirnya apa yang disebut dengan desa nol kemiskinan.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ESTABLISHMENT OF INDIVIDUAL CONSONANCE IN MAKASSAR MUSLIM COMMUNITIES ON CONDOMS THROUGH LOCAL FUNCTION INSTITUTION Adam Badwi, Munadh...