Minggu, 26 Oktober 2014

Pemodelan Sosial : Perencanaan Spasial dalam Mengurangi Kemiskinan Perkotaan di Kota Makassar

Fenomena Sosial
Kemiskinan perkotaan kini menjadi isu yang kian relevan dan mendesak untuk ditangani terkait dengan tren dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia. Sebagai ilustrasi, sepanjang 1980 hingga 2010, pertumbuhan populasi perkotaan di Indonesia mencapai 3,85% dan ini membuat proporsi penduduk perkotaan meningkat dari 22,10% pada tahun 1980 menjadi 44,28% pada 2010.
Data juga menunjukkan bahwa proporsi penduduk miskin yang tinggal di perkotaan meningkat pesat dari 18,45% pada 1976 menjadi 36,61% pada 2009. Dari data tersebut terlihat bahwa kecenderungan urbanisasi kependudukan di Indonesia juga diikuti dengan urbanisasi kemiskinan yang lebih lanjut berdampak pada timbulnya berbagai aspek persoalan kemiskinan perkotaan seperti aspek fisik (berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi) dan aspek nonfisik seperti kondisi sosial-ekonomi (keterbatasan lapangan pekerjaan, kesenjangan, ketidakadilan), ataupun aspek ekologis (banjir dan pencemaran lingkungan).
Berdasarkan sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, penduduk miskin sebanyak 32,02 juta jiwa atau 13,33% dari total jumlah penduduk. Dari jumlah penduduk miskin tersebut sebanyak 11,05 juta jiwa berada di perkotaan dan 18,97 juta jiwa di perdesaan.
Di antara kota-kota di Indonesia, Kota Makassar merupakan salah satu kota yang menghadapi masalah kemiskinan perkotaan. Di tengah upaya untuk mewujudkan visinya sebagai ”Kota Dunia” dan ”Pintu Gerbang Indonesia Timur”, Kota Makassar juga menghadapi tantangan terkait dengan jumlah penduduknya yang cukup besar, yaitu 1.339.374 jiwa pada 2010 (BPS Kota Makassar, 2011), dengan proporsi penduduk yang miskin yaitu 5,6% pada 2009 (BPS Kota Makassar, 2010).
Di sisi lain, kota Makassar terkenal dengan terobosan dan inisiatif pemerintahnya dalam penanggulangan kemiskinan. Selain tersedianya program perlindungan sosial oleh Pemerintah Pusat, terdapat pula Program Makassar Bebas yang meliputi pelayanan dasar di bidang kesehatan, pembuatan Kartu Keluarga dan akta, angkutan anak sekolah, dan lain-lain.
Namun demikian, upaya upaya tersebut belum sepenuhnya sensitif terhadap kebutuhan masyarakat miskin dan belum berintegrasi dengan aspek spasial kemiskinan perkotaan. Begitu pula dengan proses perencanaan perkotaan. Hal ini patut disayangkan mengingat pemahaman tentang aspek spasial dan pengintegrasian aspek tersebut sangat penting dan strategis dalam upaya perumusan strategi pembangunan yang secara khusus dapat mengurangi kemiskinan spasial perkotaan.
Spatial planning (penataan ruang) bukan semata-mata mengatur ruang hanya secara fisik, namun mengandung dimensi aspek-aspek ekonomi, sosial, politik, lingkungan, psikologi baik individual maupun massa. Berbagai kepentingan para pihak yang pada ujungnya memerlukan "wadah" atau "ruang"/"space" untuk aktivitasnya akan mewarnai penataan ruang suatu daerah. Sistem perencanaan spasial yang terkait dengan pembangunan bukan fenomena yang berdiri sendiri (independen) tetapi merupakan hasil dari berbagai pengaruh budaya, dimana pembangunan tidak dapat dimengerti tanpa refleksi konteks pembangunan sosial. Selain itu disadari juga bahwa tekanan-tekanan eksternal dalam kaitannya dengan kerangka globalisasi neo-liberal sangat mempengaruhi sistem perencanaan spasial terutama di tingkat lokal.
Menurut Delik Hudalah (dalam Johan Woltjer, 2007 "spatial planning" di Indonesia sangat diwarnai oleh dominasi neoliberal, dimana tekanan pasar "market driven" sangat kuat dan aspek kelembagaan dan sosial-budaya kurang diperhatikan. Akibatnya dapat dirasakan terutama di masa 5-10 tahun terakhir ini dimana banyak terjadi alih fungsi lahan, misalnya sawah dan situ diurug dan menjadi industri, mall, real estate, kawasan hutan lindung diubah menjadi hutan produksi, dan masih banyak lagi. Sehingga terjadi bencana banjir, tanah longsor, lahan kritis yang mendatangkan kerugian serta korban jiwa cukup besar.
Sebagai contoh, rencana pembangunan kawasan pelabuhan dan pergudangan di pesisir Kota Makassar belum mempertimbangkan kondisi penghidupan masyarakat miskin di wilayah tersebut yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh nelayan. Dengan pembangunan kawasan tersebut di masa mendatang, kelompok ini akan menghadapi kerentanan baru terkait dengan perubahan kondisi spasial. Akibatnya, mereka bisa bertambah miskin karena kehilangan sumber mata pencaharian, sementara transisi ke kegiatan perekonomian perkotaan lainnya belum terjadi dengan sepenuhnya.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian fenomena sosial diatas maka identifikasi masalah sebagai berikut:
1.      Pembangunan perkotaan belum sensitive terhadap kebutuhan masyarakat miskin di Kota Makassar
2.      Pembangunan perkotaan belum berintegrasi dengan aspek spasial kemiskinan perkotaan yang meliputi :
a.       Kondisi permukiman yang kurang layak.
b.      Kurangnya sarana sanitasi dan air bersih di pemukiman kumuh.
c.       Ketiadaan status kepemilikan lahan.
d.      Minimnya aset fisik dan infrastruktur pada kelompok miskin.
e.       Kondisi aset ekonomi dan keuangan masyarakat miskin masih  terbatas.
Diagnosis Masalah
a.       Pembangunan Kota Makassar belum menyertakan aspek sosial sebagai kebutuhan masyarakat terutama terbatasnya asset ekonomi keuangan masyarakat miskin.
b.      Pembangunan Kota Makassar belum berintegrasi dengan aspek spasial kemiskinan perkotaan terutama minimnya aset fisik dan infrastruktur pada kelompok miskin
Pemodelan sosial
Berdasarkan diagnosis masalah diatas maka pemodelan sosial yang akan dilakukan yaitu perencanaan spasial kemiskinan perkotaan meliputi :
1.      Integrasi pembangunan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat miskin perkotaan terutama peningkatan asset ekonomi keuangan.
2.      Integrasi pembangunan dengan peningkatan aset fisik dan infrastruktur pada kelompok miskin.

Kondisi Sosial yang diharapkan
Dengan pemodelan sosial yang dilakukan maka diharapkan kondisi sosial pada kemiskinan perkotaan di Kota Makassar semakin berkurang oleh karena:
1.      Tumbuhnya asset ekonomi keuangan masyarakat oleh karena adanya perencanaan pembangunan yang berbasisi pada kebutuhan masyarakat seperti : semakin meningkatkanya akses masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan, melaksanakan usaha-usaha ekonomi yang berbasis masyarakat.

2.      Tumbuhnya asset fisik dan infrastruktur yang berpihak pada kelompok miskin yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi sebagai subjek bukan hanya objek pembangunan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ESTABLISHMENT OF INDIVIDUAL CONSONANCE IN MAKASSAR MUSLIM COMMUNITIES ON CONDOMS THROUGH LOCAL FUNCTION INSTITUTION Adam Badwi, Munadh...