Fenomena Sosial
Kemiskinan
perkotaan kini menjadi isu yang kian relevan dan mendesak untuk ditangani
terkait dengan tren dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia. Sebagai
ilustrasi, sepanjang 1980 hingga 2010, pertumbuhan populasi perkotaan di
Indonesia mencapai 3,85% dan ini membuat proporsi penduduk perkotaan meningkat
dari 22,10% pada tahun 1980 menjadi 44,28% pada 2010.
Data juga
menunjukkan bahwa proporsi penduduk miskin yang tinggal di perkotaan meningkat
pesat dari 18,45% pada 1976 menjadi 36,61% pada 2009. Dari data tersebut
terlihat bahwa kecenderungan urbanisasi kependudukan di Indonesia juga diikuti
dengan urbanisasi kemiskinan yang lebih lanjut berdampak pada timbulnya
berbagai aspek persoalan kemiskinan perkotaan seperti aspek fisik (berkaitan
dengan ketersediaan infrastruktur dan sarana transportasi) dan aspek nonfisik
seperti kondisi sosial-ekonomi (keterbatasan lapangan pekerjaan, kesenjangan,
ketidakadilan), ataupun aspek ekologis (banjir dan pencemaran lingkungan).
Berdasarkan sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS)
2011, penduduk miskin sebanyak 32,02 juta jiwa atau 13,33% dari total jumlah
penduduk. Dari jumlah penduduk miskin tersebut sebanyak 11,05 juta jiwa berada
di perkotaan dan 18,97 juta jiwa di perdesaan.
Di antara
kota-kota di Indonesia, Kota Makassar merupakan salah satu kota yang menghadapi
masalah kemiskinan perkotaan. Di tengah upaya untuk mewujudkan visinya sebagai
”Kota Dunia” dan ”Pintu Gerbang Indonesia Timur”, Kota Makassar juga menghadapi
tantangan terkait dengan jumlah penduduknya yang cukup besar, yaitu 1.339.374
jiwa pada 2010 (BPS Kota Makassar,
2011), dengan proporsi penduduk yang miskin yaitu 5,6% pada 2009 (BPS Kota
Makassar, 2010).
Di sisi lain,
kota Makassar terkenal dengan terobosan dan inisiatif pemerintahnya dalam
penanggulangan kemiskinan. Selain tersedianya program perlindungan sosial oleh
Pemerintah Pusat, terdapat pula Program Makassar Bebas yang meliputi pelayanan
dasar di bidang kesehatan, pembuatan Kartu Keluarga dan akta, angkutan anak
sekolah, dan lain-lain.
Namun demikian, upaya upaya tersebut belum sepenuhnya
sensitif terhadap kebutuhan masyarakat miskin dan belum berintegrasi dengan
aspek spasial kemiskinan perkotaan. Begitu pula dengan proses perencanaan perkotaan. Hal
ini patut disayangkan mengingat pemahaman tentang aspek spasial dan
pengintegrasian aspek tersebut sangat penting dan strategis dalam upaya
perumusan strategi pembangunan yang secara khusus dapat mengurangi kemiskinan
spasial perkotaan.
Spatial planning (penataan ruang) bukan semata-mata mengatur
ruang hanya secara fisik, namun mengandung dimensi aspek-aspek ekonomi, sosial,
politik, lingkungan, psikologi baik individual maupun massa. Berbagai
kepentingan para pihak yang pada ujungnya memerlukan "wadah" atau
"ruang"/"space" untuk aktivitasnya akan mewarnai penataan
ruang suatu daerah. Sistem perencanaan spasial yang terkait dengan pembangunan
bukan fenomena yang berdiri sendiri (independen) tetapi merupakan hasil dari
berbagai pengaruh budaya, dimana pembangunan tidak dapat dimengerti tanpa
refleksi konteks pembangunan sosial. Selain itu disadari juga bahwa
tekanan-tekanan eksternal dalam kaitannya dengan kerangka globalisasi neo-liberal
sangat mempengaruhi sistem perencanaan spasial terutama di tingkat lokal.
Menurut Delik Hudalah (dalam Johan Woltjer, 2007
"spatial planning" di Indonesia sangat diwarnai oleh dominasi
neoliberal, dimana tekanan pasar "market driven" sangat kuat dan
aspek kelembagaan dan sosial-budaya kurang diperhatikan. Akibatnya dapat
dirasakan terutama di masa 5-10 tahun terakhir ini dimana banyak terjadi alih
fungsi lahan, misalnya sawah dan situ diurug dan menjadi industri, mall, real
estate, kawasan hutan lindung diubah menjadi hutan produksi, dan masih banyak
lagi. Sehingga terjadi bencana banjir, tanah longsor, lahan kritis yang
mendatangkan kerugian serta korban jiwa cukup besar.
Sebagai contoh, rencana pembangunan kawasan pelabuhan
dan pergudangan di pesisir Kota Makassar belum mempertimbangkan kondisi
penghidupan masyarakat miskin di wilayah tersebut yang sebagian besar
berprofesi sebagai buruh nelayan. Dengan pembangunan kawasan tersebut di masa
mendatang, kelompok ini akan menghadapi kerentanan baru terkait dengan
perubahan kondisi spasial. Akibatnya, mereka bisa bertambah miskin karena
kehilangan sumber mata pencaharian, sementara transisi ke kegiatan perekonomian
perkotaan lainnya belum terjadi dengan sepenuhnya.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan uraian fenomena
sosial diatas maka identifikasi masalah sebagai berikut:
1.
Pembangunan
perkotaan belum sensitive terhadap kebutuhan masyarakat miskin di Kota Makassar
2.
Pembangunan perkotaan belum berintegrasi dengan aspek
spasial kemiskinan perkotaan yang meliputi :
a. Kondisi permukiman
yang kurang layak.
b. Kurangnya sarana
sanitasi dan air bersih di pemukiman kumuh.
c. Ketiadaan status
kepemilikan lahan.
d. Minimnya aset
fisik dan infrastruktur pada kelompok miskin.
e. Kondisi aset
ekonomi dan keuangan masyarakat miskin masih terbatas.
Diagnosis Masalah
a.
Pembangunan
Kota Makassar belum menyertakan aspek sosial sebagai kebutuhan masyarakat
terutama terbatasnya asset ekonomi keuangan masyarakat miskin.
b.
Pembangunan Kota Makassar belum berintegrasi dengan
aspek spasial kemiskinan perkotaan terutama minimnya aset fisik dan
infrastruktur pada kelompok miskin
Pemodelan sosial
Berdasarkan diagnosis masalah diatas maka
pemodelan sosial yang akan dilakukan yaitu perencanaan spasial kemiskinan
perkotaan meliputi :
1.
Integrasi
pembangunan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat miskin perkotaan terutama
peningkatan asset ekonomi keuangan.
2.
Integrasi
pembangunan dengan peningkatan aset fisik dan infrastruktur pada kelompok miskin.
Kondisi
Sosial yang diharapkan
Dengan pemodelan sosial yang dilakukan maka
diharapkan kondisi sosial pada kemiskinan perkotaan di Kota Makassar semakin
berkurang oleh karena:
1.
Tumbuhnya
asset ekonomi keuangan masyarakat oleh karena adanya perencanaan pembangunan
yang berbasisi pada kebutuhan masyarakat seperti : semakin meningkatkanya akses
masyarakat miskin untuk memperoleh pekerjaan, melaksanakan usaha-usaha ekonomi
yang berbasis masyarakat.
2.
Tumbuhnya
asset fisik dan infrastruktur yang berpihak pada kelompok miskin yang
memungkinkan mereka untuk berpartisipasi sebagai subjek bukan hanya objek
pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar