Fenomenologi
Makalah Mata Kuliah Filsafat Ilmu Sosial
Latar Belakang
Pada dasarnya landasan teoritis dari
penelitian kualitatif bertumpu secara mendasar pada fenomenologi. Peneliti yang
baik menyadari dasar orientasi teoritisnya dan memanfaatkannya dalam
pengumpulan dan analisis data. Teori membantu menghubungkannya dengan data,
menunjang pendekatan kualitatif namun yang menjadi landasan pokoknya adalah
fenomenologi.
Metode
ini sangat penting di dalam filsafat, dan juga di dalam penelitian ilmu-ilmu
sosial. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi tidak hanya berhenti menjadi
metode, tetapi juga mulai menjadi ontologi. Muridnya yang bernama Heideggerlah
yang nantinya akan melanjutkan proyek itu.
Cita-cita
Husserl adalah membuat fenomenologi menjadi bagian dari ilmu, yakni ilmu
tentang kesadaran (science of consciousness). Akan tetapi pendekatan
fenomenologi berusaha dengan keras membedakan diri dari epistemologi
tradisional, psikologi, dan bahkan dari filsafat itu sendiri. Namun sampai
sekarang definisi jelas dan tepat dari fenomenologi belum juga dapat dirumuskan
dan dimengerti, bahkan oleh orang yang mengklaim menggunakannya.
Pembahasan
Konsep Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa
Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti
memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan.
Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian
terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua
pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu
tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu
tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi
dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak
dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia
kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Husserl
meyakini bahwa titik awal dari pengetahuan adalah “pengalaman seseorang akan
suatu fenomena (gejala)”. Jika seseorang secara sadar diminta untuk memokuskan
perhatiannya pada suatu hal atau objek kemudian diminta mengemukakan sensasi,
persepsi, dan gagasannya terhadap hal atau objek tersebut, maka akan diperoleh
deskripsi tentang hal tersebut (Salam, 2013)
Fenomenologi diartikan sebagai: 1) pengalaman subjektif
atau pengalaman fenomenologikal: 2) suatu studi tentang kesadaran dari
perspektif pokok dari seseorang. (Moleong, 2012)
Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan
umum untuk menunjuk pada pengalaman subjektif yang ditemui. Dalam arti yang
lebih khusus, istilah ini mengacu pada penelitian terdisplin tentang kesadaran
dari perspektif seseorang (Moleong, 2012)
Fenomenologi sebagai Metode dan
Filsafat
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai
metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga
kita sampai pada fenomena yang murni dan sebagai filsafat, fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Fenomenologi memiliki riwayat yang cukup panjang dalam
penelitian social termasuk psikologi, sosiologi dan pekerjaan social.
Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada focus kepada
pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Dalam
hal ini, para Fenomenologis ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang
lain.
Sebagai bidang filsafat modern, Fenomenologi menyelidiki
pengalaman kesadaran yang berkaitan dengan pertanyaan seperti: bagaimana
pembagian antara subjek (ego) dengan objek (dunia) muncul dan bagaimana sesuatu
hal di dunia ini diklasifikasikannya.
Sejak para peneliti sejarah lebih banyak mendalami
kesadarab manusia para pelaku sejarah, beberapa ahli sejarah kemudian berbalik
arah ke metode Fenomenologis yang ternyata banyak membantu mereka.
Para Fenomenologis berasumsi bahwa kesadaran bukanlah
dibentuk karena kebetulan dan dibentuk oleh sesuatu hal lainnya daripada
dirinya sendiri. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak ada
control diri terhadap kesadaran terstruktur. Husserl menyatakan bahwa
filosofinya merupakan strategi untuk mengamankan kesadaran dan dunia
kebermaknaan serta nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan sehari-hari dari
teori teori-teori relavitasme yang ada dalam bentuk ilmi pengatahuan alam
mekanistik (Moleong, 2012)
Ciri Pokok Fenomenologi
Beberapa ciri pokok
fenomenologi yaitu (Moleong,
2012) :
1. Fenomenologis
cenderung mempertentangkannya dengan naturalism yaitu yang disebut objektivisme
dan positivisme yang telah berkembang sejak zaman Renaisans dalam ilmu
pengetahuan modern dan teknologi.
2. Secara
pasti, Fenomenologis cenderung memastikan kognisi yang mengacu pada apa yang
dinamakan oleh Husserl, Evidenz yang
yang dalam hal ini merupakan kesadaran tentang sesuatu benda itu sendiri secara
jelas dan berbeda dengan yang lainnya dan mencakupi untuk sesuatu dari segi
itu.
3. Fenomenologis
cenderung percaya bahwa bukan hanya sesuatu benda yang ada dalam dunia alam dan
budaya.
Epoche
dalam Fenomenologi
Husserl
menekankan satu hal penting yaitu penundaan keputusan (epoche). Epoche atau
dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau
eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki
empat macam, yaitu :
1. Method
of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan
pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt,
agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method
of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap
keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction;
mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam
kesadaran murni.
4. Method
of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta
tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Kritik kepada Fenomologi
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya
juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan
pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan
sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu
yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang
diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound).
Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian
yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak
dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus
sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh
karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai
akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap
subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati sehingga jarak antara
subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya
berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
tidak dapat digenaralisasi.
Kesimpulan
1.
Fenomenologi
hendak menganalisis dunia kehidupan manusia sebagaimana secara subyektif maupun
intersubyektif dengan manusia lainnya. Secara subyektif adalah pengalaman
pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Secara obyektif adalah
dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan
secara intersubyektitas adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di
dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan. Interaksi antara dunia
subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian
fenomenologi.
2.
Fenomenologi
membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini
melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai dunia kehidupan. Di dalam
konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran bisa ditemukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar