TUGAS SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA DI INDONESIA
DOSEN : PROF. A. IMA KESUMA, M.PD
ADAM BADWI
13A06004
PROGRAM STUDI S3 SOSIOLOGI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2013
Adat
dalam Politik di Indonesia
Penyunting:
Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga
Memudarnya
kekuasaan negara yang sentralistik pasca Orde Baru memberikan peluang bagi
masyarakat untuk mencari orde-orde lain yang bisa memberikan keadilan, ketertiban
dan kedamaian bagi kehidupan mereka. Adat menjadi salah satu tempat berpulang
masyarakat untuk mengorganisir dirinya atas dasar klaim-klaim tradisi masa
lalu. Kembali kepada tradisi yang disebut juga tradisionalisme kemudian menjadi
pengganti dari sentralisme yang gagal memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat.
Di tengah semakin menguatnya
tradisionalisme dalam wujud gerakan indigenous peoples di dunia yang
sejalan dengan menguatnya gerakan masyarakat adat di Indonesia, buku ini lahir
untuk mempertanyakan sejumlah hal-hal mendasar dari kebangkitannya itu.
Sesuai dengan judul aslinya dalam
bahasa Inggris “The revival of tradition in Indonesian politics: the
deployment of adat from colonialism to indigenism” buku itu memang
melakukan suatu pembentangan (deployment) fenomena adat kontemporer
dengan menarik akarnya sampai pada era kolonialisme.
Setidaknya ada dua benang merah
yang merangkai semua tulisan yang dibentangkan di dalam buku tersebut. Pertama,
adalah penyelidikannya tentang faktor-faktor yang memungkinkan kebangkitan adat
di Indonesia yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Kedua, adalah
kemampuannya untuk mengungkap paradoks-paradoks yang inherent dalam kebangkitan
adat.
Kebangkitan Adat
Jamie S. Davidson dan David
Henley dalam pengantar buku tersebut menyebutkan kebangkitan adat tidak pernah
diprediksi sebelumnya oleh para peneliti tentang Indonesia dan masih kurang
mendapat perhatian ilmiah. Untuk itulah buku itu dipublikasikan dari hasil
makalah yang pernah dipresentasikan dalam lokakarya "Kebangkitan adat pada
masa transisi demokrasi di Indonesia" di Batam pada 2004 lalu.
Faktor-faktor kebangkitan adat dan dimensi-dimensi yang melekat di dalamnya
merupakan satu tujuan utama yang jawabannya dibentangkan di dalam buku yang
ditulis oleh aktivis masyarakat adat dan pemerhati Indonesia dalam berbagai
aspek ini.
Ada empat faktor utama kebangkitan adat di
Indonesia.
Pertama, ia merupakan kontribusi
dari perkembangan wacana dan dorongan dari organisasi-organisasi internasional.
Gerakan masyarakat adat merupakan kelanjutan dari gerakan anti-imperialisme
yang mencerminkan sesuatu yang baru dari "gerakan kiri" sebelumnya
karena maksudnya mempertahankan keragaman budaya. Upaya untuk membangkitkan
gerakan masyarakat adat, tribal peoples, indigenous peoples yang
terkadang juga disebut masyarakat "dunia keempat" (fourth world
peoples) ini sudah dimulai di Denmark pada 1968 oleh kelompok antropolog
professional dengan membentuk The International Work Group for Indigenous
Affairs (IWGIA), kemudian World Council of Indigenous Peoples (WCIP)
tahun 1975. Pada tataran instrument hukum internasional gerakan masyarakat adat
berhasil mendorong lahirnya ILO Convention 169 concerning Indigenous and
Tribal Peoples in Independent Countries (1989), dan yang paling mutakhir adalah
United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007).
Serangkaian perkembangan ini
menunjukan bahwa kebangkitan adat adalah sesuatu yang nyata dan mendunia.
Organisasi masyarakat adat seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang
disebutkan di dalam buku ini terlibat menjadi bagian organisasi advokasi
hak-hak masyarakat adat internasional seperti IWGIA dan AIPP (Asian
Indigenous People Pact) yang tidak saja terlibat dalam kegiatan level
internasional tetapi juga menjadi tuan rumah bagi para sarjana dan aktivis luar
negeri yang membahas soal masyarakat adat. Jejaring antara tiga lapis ruang
baik lokal, nasional dan internasional terbangun dalam ikatan memperjuangkan
hak-hak masyarakat adat.
Kedua, faktor tekanan dan
penindasan di bawah Orde Baru. Gerakan masyarakat adat yang bangkit di
Indonesia beranjak dari satu asumsi kesadaran bersama bahwa mereka adalah
korban dari program-program pembangunan selama Orde Baru berkuasa. Penindasan
itu misalkan terjadi lewat UU Desa tahun 1979 di mana institusi adat
"dihancurkan" dan diseragamkan menjadi desa. Program transmigrasi
yang memindahkan tidak kurang dari lima puluh juta penduduk dari Jawa dan
Madura ke wilayah-wilayah di pulau-pulau besar di Indonesia telah menimbulkan
konflik horizontal antar transmigran dengan penduduk asli. Belum lagi
pengambilalihan tanah-tanah adat oleh pemerintah untuk dikonversi menjadi
konsesi penebangan hutan dan pertambangan, kebun kelapa sawit, dan hutan
tanaman industri, serta taman-taman nasional. Di Bali, represi ini terjadi
seiring dengan proyek "megapariwisata" yang menghadapkan langsung
masyarakat dengan aktor-aktor investor global.
Represi ini pula yang
mempertemukan kepentingan antara masyarakat adat dengan aktivis lingkungan dan
keadilan sosial di Indonesia seperti Walhi dan YLBHI. Embrio sinergi gerakan
kalangan ini bahkan sudah muncul pada masa puncak kejayaan Orde Baru lewat
aksi-aksi penolakan perampasan tanah adat untuk kepentingan pertambangan dan
penebangan hutan.
Ketiga, faktor keterbukaan pasca
Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru membuka ruang keterlibatan massa yang massif di
Indonesia. Dengan mengutip Jose Ortega Y Gasset (1930), Satjipto Rahardjo
pernah menyebut meluasnya peran masyarakat ini sebagai "fenomena
massa" yang oleh Gasset diistilahkan dengan la rebelion de las masas (The
revolt of the masses). Peran masyarakat itu mewujud dalam bentuknya yang
optima, terkadang dalam bentuk kekerasan yang tidak lazim (Rahardjo 2000).
Peluang-peluang yang terbuka pada
pasca Orde Baru inilah yang dimanfaatkan oleh aktivis masyarakat adat untuk
mendirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999 yang
menjadi simbol perubahan radikal yang sedang terjadi. Dalam kongres pertamanya
tahun 1999 menggema tuntutan "bila negara tidak mengakui kami, maka kami
tidak akan mengakui negara". Tuntutan itu sebenarnya mencerminkan karakter
khas dari gerakan masyarakat adat kontemporer yang ingin dihargai sebagai
bagian dari negara, bukan malah bertujuan memisahkan diri (separation)
dari negara.
Namun juga tidak dapat dipungkiri
bahwa keterbukaan tersebut dalam beberapa kondisi malah mengarah pada
konflik-konflik horizontal di dalam masyarakat atas nama adat. konflik etnis di
Sambas, Sampit di Kalimantan, Poso di Sulawesi Tengah dan di Maluku Utara
memperlihatkan fenomena tersebut. Selain itu, momentum reformasi juga
dimanfaatkan oleh sultan-sultan untuk kembali menegaskan posisi politik dan
otoritasnya mengalokasikan sumber daya dengan membentuk Foruk Komunikasi
Keraton-Keraton Indonesia (FKKKI) sebagaimana dibahas oleh Van Klinken dalam
buku tersebut (hal 165-86).
Keempat, warisan ideologis dari
pemikir hukum adat pada masa kolonial. Warisan ideologis dari kolonial dalam
kajian adat yang banyak disorot dalam buku tersebut adalah sumbangsih dari
Cornelis Van Vollenhoven, professor di Universitas Leiden sejak tahun 1909 dan
bapak dari Leiden School yang melahirkan konsep-konsep kunci dalam
wacana adat sampai saat ini. Konsep-konsep tersebut seperti hukum adat (adatrecht),
beschickingrecht yang dipadankan dengan hak ulayat dan juga masyarakat
hukum adat (adatrechtgemeenschap) yang masih melekat kuat dalam diskursus adat
di Indonesia. Kelanjutan dari warisan ideologis itu bahkan masih dijumpai dalam
lingkungan akademik tentang materi pelajaran hukum adat dan juga pengembangan
kebijakan terkini tentang masyarakat adat yang dilakukan oleh institusi negara.
Selain itu, salah satu konsep
Vollenhoven yang bertahan adalah pandangan tentang adat yang esoterik, terbuka
(inclusive) dan lentur. Dengan demikian konsep itu dapat digunakan untuk
banyak keperluan, bahkan untuk berbagai proyek yang bersifat politis. Istilah
adat faktanya dipakai oleh kelompok yang berbeda bahkan tiap orang untuk
beragam tujuan yang berbeda. Pejabat pemerintah, elit daerah, kelompok
solidaritas etnis, petani, buruh tani, pejuang lingkungan dan penduduk desa
menggunakan idiom adat untuk menyuarakan kepentingan politiknya. Tania Li dalam
buku ini menyebutkan orang menggunakan adat seringkali untuk mengklaim
kemurnian dan keaslian demi kepentingan seseorang.
Paradoks
Adat
Kelebihan lain dari buku ini
adalah kemampuannya menyuguhkan paradoks-paradoks dalam isu adat kontemporer.
Davidson dan Henley menyebutkan bahwa politik adat saat ini mengambil bentuk
yang paradoksal sebagai konservatisme radikal di mana kelompok terpinggirkan,
orang yang tidak berpunya melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama
keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, komunitas
dan lokalitas (hal 31).
Meskipun acapkali adat dijadikan
sebagai argument untuk memperjuangkan keadilan, dalam kenyataannya malah adat
juga dipakai untuk melawan perjuangan keadilan yang lain. Misalkan dengan
mengutip Avonius (2004), Davidson dan Henley menyebutkan upaya untuk
memperjuangkan emansipasi perempuan malah mendapat tantangan dari kalangan elit
adat laki-laki di Lombok dan menganggap hal demikian sebagai sikap melawan
adat. Hal ini mengindikasikan bahwa adat yang dipakai untuk mendorong
demokratisasi pada level negara masih menyisakan problem-problem anti-demokrasi
di dalam lokalitas keberlakuannya.
Karena sifatnya yang terbuka
(inklusif), adat juga dipakai oleh elit-elit tradisional untuk meneguhkan
posisi politik dan otoritasnya dalam penentuan alokasi sumber daya sebagaimana
dibahas oleh Van Klinken yang tercermin dalam kebangkitan kembali sultan-sultan
seantero negeri. Inklusivitas adat dimanfaatkan oleh elit dengan merangkul
potensi-potensi politik dari orang luar (outsider) yang dijadikan
sebagai bagian dari komunitas adat lewat pemberian gelar-gelar adat. Adat dapat
dijadikan komiditas dalam transaksi politis para elit lokal.
Pada wujudnya yang lain, adat
mempertegas ekslusivitasnya dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak etnis
yang akhirnya menimbulkan konflik-konflik horizontal yang mengerikan. Sejumlah
konflik etnis menunjukkan bahwa adat dapat digunakan sebagai alat etnopolitis
yang turut berkontribusi pada kerusuhan etnis di Sambas dan Sampit di
Kalimantan, Poso di Sulawesi Tengah, dan di Maluku Utara.
Satu hal lagi yang dipertanyakan
dalam buku ini adalah posisi adat yang istimewa karena dilihat sebagai sesuatu
yang esoteris, mulia, suci, murni, baik dan muncul secara alamiah di Indonesia.
Dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam maka pengelolaan sumber daya alam
oleh masyarakat adat diasosiasikan sebagai pengelolaan sumber daya alam secara
lebih arif (ecological noble savage). Hal ini tidak diragukan lagi,
tetapi memiliki sejumlah kerumitan ketika dihadapkan dengan proyek konservasi
oleh negara sebagaimana digambarkan oleh Tania Li di Sulawesi Tengah.
Ketika penduduk memperoleh
kepercayaan untuk memanfaatkan sebagian kawasan taman nasional menjadi lahan
pertanian dan mereka memanfaatkannya untuk menanam tanaman kakao yang bernilai
ekspor tinggi, maka dengan cepat mereka kehilangan kepercayaan ekologis sebagai
pengelola sumber daya alam yang arif. Dengan kata lain, pelabelan masyarakat
adat sebagai pengelola sumber daya alam yang arif, yang merupakan aliansi
antara indigenism dengan environmentalism, malah menjadi hal yang
menjebak dan menjadi beban yang harus dipikul secara tidak proporsional oleh
masyarakat adat (hal 405).
Tantangan
Buku ini membentangkan pemahaman
kritis tentang adat dalam politik kontemporer di Indonesia. Bagi para aktivis,
peneliti dan LSM yang pro perjuangan masyarakat adat maka hendaknya buku itu
menjadi bahan refleksi sekaligus tantangan-tantangan yang harus dijawab,
khususnya tentang paradoks-paradoks adat. Sehingga bisa menjernihkan apa dan
siapa yang sebenarnya sedang diperjuangkan serta apa dan siapa yang seharusnya
tidak diperjuangkan.
Memang isu sosial dalam kadarnya
yang sekecil apapun memiliki paradoks yang melekat di dalamnya, termasuk untuk
isu adat. Lalu bagaimana mengatasi paradoks di dalam adat? Sejumlah gagasan
sebenarnya pernah muncul misalkan Burn dalam buku tersebut mewacanakan kembali
apa yang penah disampaikan oleh Barend ter Haar untuk melegalisasi adat dari
kebiasaan menjadi hukum melalui peran hakim dalam memutus perkara di pengadilan
sebagaimana karakter dalam sistem common law Anglo-Saxon (hal 78). Pada
satu sisi gagasan ini menjadi jalan alternatif di tengah masih mandulnya
pembaruan peraturan perundang-undangan yang bisa diimplementasikan secara baik
untuk mengangkat martabat masyarakat adat. Pada sisi lain, pendayagunaan
pengadilan dan asas preseden hukum memiliki tantangan tersendiri di tengah
peradilan yang legalistik, positivistik dan rentan suap.
Lain pula dengan Sangaji di dalam
buku tersebut yang menempatkan adat sebagai isu kelas, bukan pada isu etnisitas
semata. Menurut Sangaji, gerakan masyarakat adat hendaknya menjadikan identitas
etnik sebagai titik tolak, tetapi mengartikulasikannya tidak dengan semangat
etnosentrik (hal 366). Dengan pendekatan yang terakhir ini, maka sultan-sultan
dan elit-elit yang selama ini membajak adat untuk kepentingan pribadi hendaknya
dikecualikan dari agenda untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
Partisipasi yang luas dari masyarakat menurut van Klinken bisa menjadi cara
untuk mengatasi persoalan feodalisme yang melekat pada kesultanan ini (hal 86).
Sedangkan Acciaioli dalam
kesimpulan tulisannya melihat pergeseran orientasi dari gerakan masyarakat adat
dari gerakan menuntut pengakuan ke gerakan yang berorientasi pada hak asasi
manusia secara umum, demokratisasi, dan pelestarian sumber daya alam, yaitu
dengan membangun orientasi global dalam rangka mencapai pengakuan adat lokal
(hal 346). Akankah menggeser orientasi ke arah hak asasi manusia, demokratisasi
dan pelestarian sumber daya alam bisa menjadikan adat dipakai menjadi
argumentasi untuk menuntut keadilan bagi pihak yang selama ini paling mengalami
ketidakadilan? Mari berkenduri di atas lapik yang membentang, membicarakan masa
depan adat dalam politik di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar